Gakgung: Senjata Tradisional Korea

on in History
Gakgung. Foto: wikipedia user Historiographer (Wikipedia)

Gakgung, atau dikenal sebagai “horn bow“, merupakan busur tradisional Korea dengan sejarah yang panjang dan kaya. Busur ini termasuk dalam kategori busur refleks komposit, yang terbuat dari kombinasi bahan seperti tanduk kerbau, bambu, dan urat hewan. Dengan desain yang efisien dan kekuatan luar biasa, gakgung telah menjadi simbol identitas budaya dan keunggulan militer Korea selama berabad-abad.

Jejak sejarah busur komposit, termasuk gakgung, dapat ditelusuri hingga milenium ke-2 SM di stepa Eurasia. Busur ini awalnya digunakan oleh masyarakat pastoral untuk berburu dan berperang. Di Korea, kegiatan memanah pertama kali terdokumentasi sekitar abad ke-5 SM, dengan busur refleks menjadi senjata utama dari tentara Korea pada abad pertama SM untuk melawan ancaman dari Tiongkok dan kelompok nomaden.

Perkembangan teknologi busur mulai terlihat saat “siyah” atau ujung busur yang kaku diperkenalkan pada abad ke-4 SM. Inovasi ini meningkatkan kinerja busur secara signifikan. Desain gakgung terus disempurnakan selama Dinasti Joseon (1392-1897), dengan fokus pada kekuatan dan akurasi jarak jauh. Namun, peran busur ini dalam bidang militer mulai berkurang pada akhir abad ke-19 akibat adopsi senjata api. Meskipun begitu, tradisi memanah masih tetap hidup dan menjadi bagian penting dari budaya Korea.

Gakgung memegang peranan penting dalam strategi militer Korea selama berabad-abad. Di masa Dinasti Joseon, busur ini menjadi senjata utama bagi tentara elit, terutama dalam pasukan kavaleri. Ukurannya yang kecil dan kekuatan daya tarik yang tinggi membuatnya ideal untuk digunakan dalam memanah sambil berkuda. Strategi serangan kilat dan pertempuran jarak jauh menjadi keunggulan militer Korea berkat busur ini.

Bahkan dalam sistem ujian militer Joseon, keterampilan memanah menjadi salah satu kriteria terpenting. Hal ini menunjukkan pentingnya gakgung dalam kesiapan militer. Dengan kemampuan menembak hingga jarak 500 meter, busur ini memberikan keuntungan strategis bagi pasukan Korea dalam operasi ofensif maupun defensif. Anak panah khusus yang menghasilkan suara siulan juga digunakan sebagai senjata psikologis untuk menanamkan rasa takut di kalangan musuh.

Tentara Korea memanah dari kuda, lukisan dari abad ke-5 (gambar public domain)

Selain pertempuran darat, gakgung juga digunakan dalam peperangan laut. Kapal perang Korea dilengkapi dengan pemanah yang bersenjatakan busur ini, memungkinkan mereka menyerang kapal musuh dari jarak yang aman. Meskipun dominasi gakgung di medan perang mulai surut seiring dengan munculnya senjata api modern, warisannya tetap hidup melalui pengaruhnya pada seni bela diri dan budaya militer Korea.

Kinerja luar biasa gakgung berasal dari konstruksi kompositnya yang menggunakan bahan-bahan pilihan. Inti busur terbuat dari bambu yang memberikan fleksibilitas dan daya serap guncangan. Bagian depan atau “perut” busur dilapisi tanduk kerbau yang memberikan kekuatan tambahan. Bagian belakangnya dilapisi urat sapi atau kerbau untuk menahan kekuatan tarikan busur.

Pegangan busur dibuat dari kayu oak yang stabil dan nyaman digenggam, sementara “telinga” atau ujung busur yang kaku dibuat dari kayu murbei atau akasia hitam. Komponen-komponen ini disatukan dengan lem dari gelembung renang atau kolagen ikan, yang dikenal sebagai isinglass. Untuk melindungi busur dari kelembapan, bagian belakangnya dilapisi kulit kayu birch yang direndam dalam air laut.

Master Heon Kim, atlet panahan Korea. Foto: APoincot (Wikipedia)

Proses pembuatan busur ini sangat dipengaruhi oleh musim. Busur baru biasanya dibuat selama musim dingin yang kering, dengan durasi pengerjaan sekitar empat bulan. Kombinasi material dan teknik pembuatan tradisional menghasilkan busur yang mampu menyimpan dan melepaskan energi secara efisien, memungkinkan anak panah melesat hingga jarak 500 meter.

Meskipun tidak lagi digunakan sebagai senjata militer, gakgung tetap menjadi simbol penting dalam budaya Korea. Tradisi memanah terus dilestarikan melalui olahraga dan upacara budaya. Seni membuat busur ini juga dipertahankan oleh para pengrajin, memastikan bahwa teknik dan keterampilan kuno ini tidak hilang oleh waktu.

Gakgung tidak hanya merepresentasikan keunggulan teknis, tetapi juga menggambarkan hubungan mendalam antara manusia, alam, dan budaya. Sebagai salah satu warisan berharga Korea, busur ini tetap menjadi pengingat akan masa lalu yang kaya dan kontribusi besar Korea dalam sejarah teknologi senjata.

Gakgung adalah cerminan dari sejarah panjang dan inovasi Korea dalam teknologi senjata. Sebagai salah satu busur komposit paling efisien, gakgung tidak hanya memainkan peran penting dalam strategi militer di masa lalu, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Korea. Dari medan perang hingga arena budaya modern, gakgung tetap menjadi simbol kekuatan, keahlian, dan warisan yang abadi.