Tong sampah yang dilengkapi dengan RFID. Foto: Smart City Korea

Korea Selatan sering disebut sebagai contoh negara dengan sistem pengelolaan sampah makanan yang sangat terstruktur. Tingkat daur ulangnya kini mendekati seluruh sampah makanan rumah tangga, walaupun pada pertengahan 1990-an angka daur ulang berada di bawah dua persen. Hal ini dapat tercapai setelah masyarakat Korea melalui tiga generasi kebijakan, yaitu sistem flat-rate di apartemen, sistem kantong standar untuk rumah, dan generasi ketiga berupa tong sampah berbasis RFID dengan skema bayar sesuai berat.

Sebelum pertengahan 1990-an, sampah makanan di Korea Selatan dibuang bersama dengan sampah rumah tangga biasa. Sampah dikirim ke tempat pembuangan akhir berskala besar seperti Nanjido di Seoul. Tidak ada pemisahan, pemantauan, ataupun skema biaya yang terkait langsung dengan jumlah sampah yang dihasilkan.

Pada fase ini, tingkat daur ulang sampah makanan sangat rendah. Campuran sampah organik dan anorganik menimbulkan permasalahan air lindi, pencemaran tanah dan air, serta tekanan pada kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA). Situasi ini mendorong pemerintah untuk mulai merancang pembatasan.

Ilustrasi tong sampah daur ulang. Foto: Sigmund (Unsplash)

Langkah signifikan terjadi lewat pengesahan undang-undang yang melarang pembuangan sampah makanan ke TPA. Aturan ini disahkan pada tahun 1998 dan efektif berlaku mulai 1 Januari 2005. Kebijakan tersebut memaksa pemerintah daerah untuk membangun fasilitas daur ulang sampah makanan, seperti pabrik kompos dan pakan ternak. Namun, pola pengumpulan sampah pada masa itu masih sederhana dan belum menyentuh perilaku individu secara langsung.

Sebelum sistem RFID diterapkan secara luas, penghuni apartemen di kota-kota besar umumnya menggunakan skema flat-rate. Pihak apartemen umumnya menyediakan satu tong besar, sekitar 120 liter, yang diletakkan di area parkir atau ruang komunal untuk seluruh penghuni satu blok atau kompleks.

Perusahaan pengelola sampah kemudian menimbang volume atau jumlah angkut dari tong tersebut, lalu menagih biaya ke pengelola gedung. Biaya total kemudian dibagi rata ke seluruh rumah tangga dan dimasukkan ke tagihan biaya pemeliharaan bulanan atau gwallibi.

Secara administratif, sistem ini nampak sederhana. Namun, dari sudut pandang keadilan dan perubahan perilaku, sistem ini menimbulkan masalah. Rumah tangga dengan satu orang yang menghasilkan sedikit sampah membayar biaya yang sama dengan keluarga besar yang menghasilkan jauh lebih banyak sampah. Tidak ada hubungan langsung antara jumlah sampah yang dibuang dan biaya yang harus dibayarkan.

Tempat sampah untuk daur ulang di Jeju. Foto: ProjectManhattan (Wikipedia)

Masalah ini disebut dengan istilah free-rider, di mana warga yang berusaha mengurangi sampah tidak merasakan manfaat finansial, sementara mereka yang menghasilkan sampah banyak tetap menanggung biaya yang sama. Akibatnya, tidak ada insentif untuk mengurangi porsi, mengolah sisa makanan, maupun meniriskan air dari sampah organik.

Di kawasan rumah tapak dan bangunan kecil, pemerintah daerah memperkenalkan sistem kantong sampah standar yang sering disebut kantong kuning. Sistem ini merupakan bentuk awal skema pay-as-you-throw, karena biaya pembuangan disisipkan dalam harga kantong resmi yang dijual di minimarket.

Warga harus membeli kantong dengan ukuran tertentu, misalnya 3 liter, 5 liter, atau 10 liter. Semakin besar kantong, semakin tinggi harga yang harus dibayar. Secara prinsip, rumah tangga yang membuang lebih banyak sampah akan membeli lebih banyak atau membeli kantong berukuran lebih besar.

Namun, dalam praktiknya muncul beberapa kendala. Untuk menghemat biaya, warga sering kali memadatkan sampah sedemikian rupa hingga kantong terlalu penuh. Hal ini memicu robeknya kantong, kebocoran, dan ceceran di jalan saat pengangkutan. Di sisi lain, banyak warga menunggu sampai kantong benar-benar penuh sebelum dibuang, sehingga sisa makanan disimpan cukup lama di dapur dan menimbulkan bau.

Ilustrasi truk pengangkut sampah. Foto: Florencia Gonzalez Bazzano (Unsplash)

Dari sisi pengolahan, kantong sampah yang disebut dapat terurai tidak selalu terurai dengan cepat di fasilitas pengolahan. Operator terpaksa membuka kantong secara manual dan memisahkan plastik sebelum sampah diolah menjadi pakan ternak atau kompos. Ini menambah tahap kerja dan menyulitkan standar pengolahan.

Sistem kantong ini sedikit lebih adil dibandingkan dengan sistem flat-rate karena mengaitkan biaya dengan volume, tetapi masih belum mencerminkan berat maupun kadar air sampah yang dibuang.

Memasuki tahun 2010, pemerintah Korea menyadari bahwa volume sampah makanan tidak lagi menurun secara signifikan. Di kawasan apartemen, sistem flat-rate membuat pengurangan sampah sulit dicapai. Pemerintah pusat kemudian mendorong penerapan skema tagihan Pay-by-Weight yang lebih presisi.

Puncaknya, pada tahun 2013, pemerintah mewajibkan semua pemerintah daerah untuk menerapkan sistem biaya berbasis volume atau berat untuk sampah makanan. Untuk kawasan apartemen, jawaban kebijakan tersebut adalah tong sampah otomatis berbasis teknologi Radio Frequency Identification (RFID).

Sebelum mandat nasional diberlakukan, beberapa kota melakukan uji coba antara tahun 2010 dan 2012. Di kota-kota tersebut, pemasangan tong sampah RFID menyebabkan penurunan volume sampah makanan rumah tangga sekitar 25 sampai 30 persen. Warga mulai meniriskan air dari sisa makanan, mengurangi makanan berlebih, dan lebih sering menghabiskan makanan demi menurunkan berat sampah.

Tong sampah dengan RFID. Foto: newsinsight.com, THE SUNGKYUN TIMES

Untuk mendukung kelancaran adopsi sistem ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah memberikan subsidi investasi. Harga satu mesin tong berbasis RFID berada pada kisaran 1,7 juta won per unit. Sebagian biaya tersebut, sering kali hingga sekitar 70 persen, ditanggung oleh pemerintah, sehingga pengelola apartemen lebih mudah beralih dari tong sampah konvensional.

Next Page→