Kerja paruh waktu di Korea, yang juga dikenal dengan sebutan “areubaiteu” atau “alba,” telah mengalami perkembangan signifikan sejak tahun 1970-an. Awalnya menjadi jalan keluar bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan finansial, kerja paruh waktu kini menjadi fenomena sosial yang melibatkan jutaan pekerja.
Meskipun tergolong dalam pekerjaan sampingan, banyak pekerja paruh waktu di Korea bekerja lebih dari 40 jam per minggu.
Asal Usul Istilah Areubaiteu
Kata “areubaiteu” (아르바이트) berasal dari bahasa Jerman “arbeit” yang berarti “pekerjaan” atau “tenaga kerja.” Kata ini masuk ke Korea melalui Jepang pada awal abad ke-20. Di Jepang, istilah “arubaito” (アルバイト) merujuk pada pekerjaan paruh waktu yang dilakukan oleh mahasiswa.
Saat Korea berada di bawah pendudukan Jepang (1910-1945), istilah ini kemudian diserap dan akhirnya menjadi kata sehari-hari. Versi singkatnya, “alba” (알바), lebih sering digunakan oleh kalangan muda. Fenomena ini mencerminkan warisan linguistik kompleks Korea, di mana kosakata asing tetap bertahan karena pengaruh sejarah dan adaptasi budaya.
Budaya Freeter dan Dampak Ekonomi
Generasi muda Korea semakin mengadopsi gaya hidup “freeter,” istilah lainnya dari Jepang yang menggabungkan kata “free” dan “arbeiter,” sebagai alternatif dari pekerjaan penuh waktu di perusahaan besar. Kenaikan upah minimum telah mempersempit kesenjangan pendapatan antara posisi korporat pemula dan pekerjaan paruh waktu, sehingga pekerjaan fleksibel menjadi pilihan yang layak secara ekonomi sekaligus menawarkan keseimbangan hidup yang lebih baik.
Gaya hidup ini mencerminkan penolakan terhadap budaya kerja korporat yang ketat. Banyak anak muda memilih keluar dari pekerjaan pabrik atau kantor dengan gaji rendah dan beralih ke pekerjaan jasa yang memberi otonomi lebih besar. Namun, tren ini juga berdampak pada pasar tenaga kerja. Usaha kecil kesulitan untuk mempertahankan pekerja terampil, sementara pekerjaan profesional paruh waktu cenderung mengalami penurunan kualitas dan penghasilan, khususnya bagi wanita berusia 30-an.
Perkembangan Upah Minimum
Upah minimum Korea naik drastis dari 1.525 won per jam pada tahun 1999 menjadi 8.590 won pada 2020, atau meningkat 463%. Kenaikan tercepat terjadi pada masa pemerintahan Presiden Moon Jae-in (2017-2020), ketika upah minimum melonjak hampir 30% dalam kurun waktu tiga tahun.
Peningkatan ini memperkuat budaya freeter, tetapi juga memicu penyesuaian oleh pemilik usaha kecil yang mengurangi jam kerja atau memangkas jumlah pegawai. Akibatnya, meskipun upah per jam meningkat, jumlah posisi kerja menurun, dan persaingan untuk pekerjaan paruh waktu semakin ketat.
Platform Kerja Digital
Transformasi digital telah mengubah ekosistem “alba” di Korea. Munculnya platform daring seperti layanan antar, ride-sharing, dan tugas berbasis aplikasi menciptakan peluang kerja baru yang mengaburkan batas antara pekerja lepas dan karyawan. Pekerja paruh waktu kini beroperasi dalam “ekonomi konsinyasi” digital, di mana platform memiliki kendali besar atas upah dan pengaturan kerja.
Teknologi seluler membuat pekerja semakin terhubung, namun juga meningkatkan tekanan untuk selalu siap bekerja di luar jam standar. Platform kerja digital memungkinkan fleksibilitas, tetapi juga mengikis batas waktu dan ruang kerja, mengubah hakikat fleksibilitas yang sebelumnya menarik bagi pekerja muda.
Kebutuhan hingga Fenomena Sosial
Perjalanan kerja paruh waktu di Korea menunjukkan pergeseran dari sekadar solusi finansial sementara menjadi bagian integral dari struktur kerja modern. Kenaikan upah minimum, penolakan terhadap budaya korporat, dan kemajuan teknologi telah membentuk ekosistem kerja yang lebih fleksibel tetapi juga penuh tantangan. Fenomena ini mencerminkan adaptasi generasi muda terhadap realitas ekonomi dan sosial yang terus berubah, sekaligus mengungkap dilema antara kebebasan kerja dan stabilitas jangka panjang.