Jjukkumi bokkeum. Foto: 대경라이프 (Wikipedia)

Gurita menempati posisi penting dalam kuliner Korea. Di negara tersebut, beberapa jenis gurita dikenal dengan nama, bentuk, dan cara pengolahan yang berbeda. Jjukkumi, nakji, dan muneo sama-sama berasal dari keluarga gurita, tetapi perannya di dapur dan di budaya kuliner Korea tidaklah sama.

Memahami perbedaan ketiganya dapat membantu menjelaskan mengapa ada slogan seperti “봄 쭈꾸미, 가을 낙지” dan mengapa sebagian hidangan menggunakan gurita kecil, sementara yang lain selalu memakai gurita berukuran lebih besar.

Dalam praktik kuliner, Korea mengenali tiga jenis gurita. Jjukkumi merujuk pada webfoot octopus, gurita kecil dengan panjang sekitar 12–17 sentimeter. Ciri khasnya adalah selaput di antara seluruh lengannya, sehingga tiap lengan tidak tampak terpisah. Bentuk tubuhnya relatif bulat dengan lengan yang pendek.

Istilah nakji biasanya digunakan untuk spesies Octopus minor. Ukurannya lebih panjang dari jjukkumi, sekitar 30 sentimeter, dengan tubuh ramping dan selaput yang sangat tipis di antara lengan. Warna tubuhnya cenderung pucat, mendekati putih atau jingga muda.

Nakji (Octopus minor). Foto: Bo-Mi Kim, Seunghyun Kang, Do-Hwan Ahn, Seung-Hyun Jung, Hwanseok Rhee, Jong Su Yoo, Jong-Eun Lee, Seung-Jae Lee, Yong-Hee Han, Kyoung-Bin Ryu, Sung-Jin Cho, Hyun Park, Hye Suck An (Wikipedia)

Muneo adalah gurita besar yang sering diasosiasikan dengan potongan lengan tebal yang direbus dan diiris. Ukurannya jauh melampaui jjukkumi dan nakji sehingga cara masaknya juga berbeda.

Perbedaan ukuran dan anatomi berpengaruh langsung pada cara pengolahan dari ketiga jenis gurita tersebut. Jjukkumi memiliki lengan pendek dengan selaput yang jelas di antara seluruh lengannya. Proporsi tubuh dibandingkan dengan lengan lebih besar, sehingga ketika dimasak utuh, bentuk kepalanya tampak menonjol. Ukuran yang kecil memudahkan pengolahan cepat dengan panas tinggi.

Nakji memiliki tubuh yang relatif panjang dan lengan yang ramping. Selaput di tiap lengannya lebih sedikit, membuatnya terlihat lebih terpisah. Teksturnya cenderung lebih kenyal dibanding jjukkumi karena ukuran serat otot yang berbeda.

Muneo memiliki lengan besar dan tebal. Lapisan kulit dan ototnya lebih padat, sehingga memerlukan waktu pemasakan lebih lama untuk mencapai tekstur yang mudah dikunyah. Terdapat banyak hidangan yang menggunakan potongan lengan muneo sebagai bahan utama.

Salah satu perbedaan penting dari ketiga jenis gurita tersebut adalah kaitannya dengan musim. Warga Korea mengenal ungkapan “봄 쭈꾸미, 가을 낙지” yang secara harfiah berarti “jjukkumi di musim semi, nakji di musim gugur”. Jjukkumi dianggap paling tepat dikonsumsi pada musim semi, terutama sekitar bulan Maret hingga Mei ketika gurita memasuki musim pemijahan. Pada periode ini, jjukkumi banyak mengandung telur. Telurnya yang berwarna putih dan berbentuk butiran kecil seperti nasi, sehingga jjukkumi kadang dijuluki gurita “butir nasi”.

Jjukkumi (Webfoot octopus, Amphioctopus fangsiao), NIFREL Aquarium, Osaka. Foto: Totti (Wikipedia)

Nakji lebih sering dikaitkan dengan musim gugur. Nakji dapat ditemukan sepanjang tahun, tetapi hasil tangkapan di musim gugur dipandang memiliki tekstur dan rasa yang seimbang untuk berbagai olahan, terutama tumisan pedas.

Muneo tidak memiliki asosiasi yang kuat dengan musim tertentu, namun gurita ini sering hadir dalam acara makan yang lebih formal, misalnya sebagai hidangan irisan gurita rebus dalam jamuan atau perayaan. Kehadirannya lebih terkait dengan bentuk penyajian dibandingkan dengan musim.

Ketiga jenis gurita ini sama-sama kaya protein, rendah lemak, serta mengandung berbagai mineral seperti zat besi dan kalsium. Jjukkumi memiliki kadar taurin yang tinggi, disebut mencapai beberapa kali lipat dibanding gurita biasa. Taurin sering dikaitkan dengan fungsi metabolisme dan daya tahan tubuh dalam wacana gizi populer di Korea.

Secara rasa, jjukkumi digambarkan memiliki perpaduan rasa asin ringan yang kemudian diikuti rasa manis halus dengan aroma laut yang jelas. Bila dimasak dengan tepat, teksturnya kenyal lembut tanpa menjadi liat. Telur dari gurita yang ditangkap pada musim semi menambah tekstur butiran halus ketika dikunyah.

Nakji cenderung sedikit lebih padat dan kenyal. Dalam teks pengobatan tradisional Korea, nakji digambarkan bertabiat “lembut” dan manis ringan serta dipercaya dapat membantu meningkatkan stamina dan kejernihan pikiran.

Muneo, dengan struktur otot yang lebih besar, memiliki tekstur kenyal setelah direbus dan diiris tipis namun tetap bisa digigit dengan mudah jika waktu memasaknya tepat. Rasa yang ditonjolkan dalam hidangan yang menggunakan muneo biasanya berfokus pada rasa daging gurita itu sendiri, bukan sekadar bumbu.

Olahan jjukkumi menonjolkan durasi masak yang singkat dengan panas tinggi. Jjukkumi bokkeum adalah tumis jjukkumi dengan saus berbasis gochujang. Jjukkumi dimasak bersama dengan bumbu pasta cabai, bubuk cabai, kecap, pemanis seperti sirup beras atau mirin, bawang putih, dan minyak wijen. Variasi yang populer adalah jjukkumi samgyeopsal bokkeum, yaitu jjukkumi yang ditumis bersama samgyeopsal atau irisan perut babi. Lemak dari samgyeopsal membantu mencegah jjukkumi menempel di wajan dan memberi lapisan rasa tambahan.

Jjukkumi gui mengandalkan proses marinasi dan pemanggangan cepat. Jjukkumi direndam dalam saus pedas lalu dipanggang hingga permukaannya sedikit terkaramellisasi. Karena ukurannya kecil, keseluruhan proses pemasakan biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit saja.

Jjukkumi gui. Foto: Jumi Kang (Wikipedia)

Jjukkumi juga dapat dimasukkan ke dalam tteokbokki. Dalam bentuk ini, jjukkumi dan tteok menyerap saus pedas yang sama. Interaksi antara tteok yang padat dan jjukkumi yang kenyal lembut menciptakan tekstur kontras dalam satu hidangan.

Pada musim semi, ketika jjukkumi masih segar, sebagian tempat menyajikan nasi goreng tinta jjukkumi. Tinta digunakan untuk mewarnai dan memberi rasa pada nasi, sehingga menghasilkan hidangan musiman yang hanya bisa dibuat dengan jjukkumi segar.

Nakji identik dengan tumisan pedas. Nakji bokkeum menggunakan nakji yang ditumis cepat dengan saus pedas yang lebih pekat. Pada umumnya, bumbu yang dipakai menggunakan beragam bahan seperti gochujang, bubuk cabai dalam jumlah besar, kecap, pemanis, bawang putih, jahe, dan minyak wijen. Sayuran seperti kol, wortel, dan daun bawang sering ditambahkan. Nakji dimasak dengan api besar dalam waktu singkat sekitar beberapa menit untuk menjaga tekstur gurita agar tetap kenyal tetapi tidak liat.

Nakji bokkeum. Foto: 박家상민 (Wikipedia)

Sannakji disajikan menggunakan nakji yang masih hidup. Gurita kecil dipotong dan langsung disajikan dengan minyak wijen dan garam atau saus sederhana lainnya. Potongan lengan masih bergerak karena rangsangan saraf. Di beberapa negara, hidangan seperti ini tidak diizinkan, tetapi di Korea sannakji memiliki posisinya tersendiri.

Nakji juga digunakan dalam jeongol atau hot pot. Dalam hidangan ini, nakji dimasak dalam kuah yang dibumbui pasta kedelai fermentasi, bubuk cabai, dan sayuran. Proses pemasakan berlangsung di meja makan sehingga pengunjung dapat mengatur tingkat kematangan.

Muneo paling dikenal melalui sajian rebus dan iris. Muneo sukhoe dibuat dengan cara merebus gurita besar dalam air mendidih selama beberapa menit, bergantung dengan ukurannya, hingga teksturnya berubah menjadi empuk. Setelah itu, gurita diangkat dan diiris tipis lalu disajikan dengan saus cocol minyak wijen dan garam atau chogochujang, yaitu campuran gochujang, gula, dan cuka. Air rebusannya sering kali tidak dibuang, melainkan dipakai sebagai dasar sup.

Muneo jorim adalah gurita besar yang dimasak dalam saus yang direduksi. Bumbu pedas manis dimasak hingga mengental dan dapat melapisi potongan gurita. Proses memasak ini memerlukan waktu lebih lama sehingga tekstur gurita menjadi lunak.

Muneo jorim lunchbox. Video: Maangchi

Muneo juk adalah bubur nasi dengan potongan gurita. Nasi, gurita, sayuran cincang seperti wortel dan daun bawang, serta bumbu seperti minyak wijen dan saus ikan dimasak bersamaan hingga menjadi bubur kental. Kehangatan dan dapat dicerna dengan mudah merupakan ciri khas utama dari hidangan ini.

Perbedaan ukuran dan ketebalan lengan membuat tahapan pengolahan ketiga jenis gurita menjadi tidak sama. Jjukkumi biasanya dibersihkan dengan cara digosok menggunakan garam atau tepung, lalu dibilas sampai bersih. Setelah itu, jjukkumi dapat langsung dimasukkan ke wajan untuk ditumis atau dipanggang. Kunci utamanya adalah waktu memasak yang singkat, umumnya sekitar tiga sampai lima menit. Melebihi rentang itu, daging jjukkumi berisiko menjadi liat.

Nakji dibersihkan dengan garam hingga muncul busa dan lendirnya menghilang. Beberapa resep menyarankan gurita untuk diblansir singkat sebelum ditumis, sementara resep yang lain langsung masuk ke tahap penumisan setelah dibersihkan. Sama seperti jjukkumi, nakji perlu dimasak dengan api besar dalam waktu singkat agar tekstur kenyalnya tetap terjaga.

Muneo memerlukan langkah perebusan lebih lama, sekitar beberapa menit hingga belasan menit bergantung pada ukurannya. Setelah itu barulah gurita diiris atau dimasak kembal. Jika waktu pengolahan kurang lama, teksturnya bisa menjadi terlalu keras. Namun jika terlalu lama, strukturnya rentan menjadi terlalu lembek. Pengaturan waktu menentukan kualitas tekstur akhir dari gurita ini.

Jjukkumi banyak dikaitkan dengan pesisir barat Korea dan daerah seperti Muan yang terkenal sebagai sentra jjukkumi. Di beberapa pantai, festival jjukkumi rutin diadakan pada pertengahan Maret hingga awal April, bertepatan dengan musim utama.

Nakji banyak dijumpai di pasar tradisional besar dan restoran di kota-kota seperti Seoul. Di kawasan tertentu, sannakji menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan yang ingin melihat langsung cara penyajiannya. Muneo lebih lazim ditemukan di kota pelabuhan dan restoran yang menekankan hidangan laut segar dengan penyajian irisan rebus yang rapi.

Nakji yang dijual di pasar. Foto: Ulrich Walder (Wikipedia)

Dalam perkembangannya, ketiga jenis gurita ini telah disajikan menjadi hidangan bergaya modern. Jjukkumi dipadukan dengan tteokbokki atau keju, nakji muncul dalam tumisan dengan sayuran yang lebih beragam, sementara muneo kadang disajikan dalam salad atau hidangan bergaya fusion yang meminjam teknik dari luar Korea.

Jjukkumi, nakji, dan muneo sama-sama berada dalam kelompok gurita dalam pengertian biologis, tetapi menempati posisi yang berbeda dalam kuliner Korea. Jjukkumi identik dengan musim semi, ukuran kecil, dan pemasakan cepat yang memanfaatkan tekstur lembut serta telur musiman. Nakji lebih terkait dengan musim gugur dan hidangan tumis pedas yang menonjolkan teksturnya yang kenyal. Sedangkan muneo, sebagai gurita besar, hadir melalui proses perebusan dan irisan yang rapi dalam konteks jamuan yang lebih formal.

Perbedaan jenis, musim, cara masak, dan cara penyajian ini membentuk keragaman hidangan gurita di Korea. Dengan memahami ciri tiap jenis, kita dapat memahami bahwa istilah “gurita” dalam kuliner Korea bukan satu kategori tunggal, melainkan kumpulan bahan dengan fungsi kuliner dan makna budaya yang berbeda.