
Korea Selatan memiliki lebih dari 3.000 pulau yang tersebar di sekitarnya, membentuk lanskap kepulauan yang kaya akan keragaman budaya. Namun di sisi lain, hal tersebut juga memunculkan tantangan dari segi transportasi bagi masyarakat maritimnya.
Pulau-pulau ini, terutama yang terletak di sepanjang pesisir barat dan selatan, tetap mempertahankan tradisi, bahasa, dan gaya hidup mereka yang berbeda dari budaya daratan utama. Kini, dengan dibangunnya infrastruktur modern, termasuk jaringan feri dan proyek jembatan strategis, aksesibilitas serta keterhubungan antara pulau dan daratan telah meningkat secara signifikan.
Pulau-pulau Utama
Pulau Jeju mendominasi kepulauan Korea sebagai pulau terbesar dengan luas 1.833,2 kilometer persegi, atau mencakup sekitar 1,83% dari total wilayah negara. Terletak 82,8 kilometer di selatan Semenanjung Korea, pulau vulkanik ini terbentuk sekitar dua juta tahun lalu akibat letusan bawah laut. Lanskapnya berpusat pada Gunung Hallasan, gunung tertinggi di Korea Selatan yang menjulang hingga 1.950 meter. Dengan garis pantai sepanjang 258 kilometer, Jeju menampilkan formasi alam yang dramatis seperti kawah Seongsan Ilchulbong.

Pulau Geoje dan Jindo masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga dengan luas sekitar 379 dan 375 kilometer persegi. Pulau Ganghwa dan Namhae turut melengkapi lima pulau besar di Korea, masing-masing memiliki nilai sejarah dan tradisi yang kuat.
Sementara itu, di Laut Kuning terdapat Baengnyeongdo, pulau strategis yang sering menjadi titik ketegangan diplomatik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara itu, di Laut Timur, Ulleungdo yang berukuran 72,8 kilometer persegi menjadi gerbang menuju gugusan karang Dokdo yang masih disengketakan.
Sebagian besar nama pulau Korea mengandung akhiran “-do” atau “-seom” yang berarti “pulau”. Provinsi Jeolla Selatan memiliki konsentrasi pulau terbanyak, termasuk Wando, Heuksando, dan Cheongsando, yang terkenal dengan sistem pertanian terasering gudeuljang.
Warisan Budaya Pulau
Jeju memiliki identitas budaya unik berupa dialek khas yang kini telah diakui oleh UNESCO sebagai bahasa terancam punah. Dialek ini memiliki struktur tata bahasa dan pelafalan yang berbeda dari bahasa Korea standar. Jeju juga dikenal memiliki praktik keagamaan tradisional berbasis syamanisme yang masih bertahan meskipun sempat ditekan selama era kolonialisme.

Salah satu warisan paling terkenal dari Jeju adalah para haenyeo, penyelam wanita yang mencari hasil laut tanpa alat bantu pernapasan. Sistem penangkapan ikan ini diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda dunia karena mencerminkan hubungan ekologis antara laut dan daratan. Mereka memiliki kosakata khusus untuk menggambarkan kondisi angin dan laut, serta menyanyikan lagu-lagu ritual untuk memohon hasil panen laut yang baik.
Di bidang pertanian, Jeju mengembangkan sistem batdam berupa tembok batu untuk melindungi tanaman dari angin laut. Sementara itu, Cheongsando dikenal dengan sistem sawah bertingkat gudeuljang yang mampu menahan air di tanah berpasir selama berabad-abad. Teknik pertanian di pulau-pulau tersebut menjadi bagian penting dari warisan budaya Korea.
Dialek dan Tradisi Lokal
Isolasi geografis memungkinkan pulau-pulau di Korea mengembangkan dialek dan tradisi yang berbeda. Makanan khas tiap pulau juga menunjukkan kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan hasil laut dan pertanian lokal. Jeju memiliki lebih dari 500 jenis makanan tradisional, sedangkan pertunjukan topeng seperti di Desa Hahoe merefleksikan kritik sosial masa lampau dan masih dipentaskan hingga kini.
Berbagai festival seperti Festival Budaya Tamna dan Festival Seolmundae Halmang di Jeju melestarikan mitos lokal, termasuk kisah dewi pencipta Hallasan. Namun, migrasi generasi muda ke kota menyebabkan penurunan jumlah penutur dialek dan pelaku tradisi.
Jaringan Feri dan Konektivitas
Jaringan feri merupakan urat nadi penghubung ribuan pulau Korea dengan daratan utama. Pelabuhan utama seperti Incheon, Mokpo, Pohang, dan Busan menyediakan akses ke berbagai pulau. Layanan feri ke Jeju dioperasikan oleh Hanil Express dan Seaworld Express Ferry, sementara pulau-pulau kecil seperti Chuja hanya memiliki jadwal feri yang terbatas. Cuaca menjadi faktor penting, terutama untuk rute ke Ulleungdo yang sering dibatalkan saat badai terjadi.

Terminal feri Incheon menawarkan akses cepat dari Seoul ke pulau-pulau terdekat seperti Deokjeokdo dan Yeongjongdo, dengan durasi perjalanan berkisar 10 menit hingga 1,5 jam.
Infrastruktur Jembatan
Pembangunan jembatan telah mengubah wajah kepulauan Korea dengan membuka akses darat yang sebelumnya mustahil dilakukan. Pulau Yeongjongdo, lokasi Bandara Internasional Incheon, kini terhubung langsung ke daratan melalui Jembatan Yeongheung. Pulau Ganghwa memiliki beberapa jembatan yang memperkuat konektivitas internal dan meningkatkan potensi ekonominya.
Contoh lain adalah Jembatan Seonjaedaegyo yang menghubungkan beberapa pulau secara berantai melalui Daebudo, menciptakan jaringan transportasi terpadu. Di Hwaseong, Pulau Jebudo menampilkan fenomena alami berupa jalan darat yang muncul saat air laut surut. Pulau Namhae dan Dolsando juga memanfaatkan koneksi jembatan untuk mengembangkan pariwisata tanpa meninggalkan warisan maritim mereka.
Peningkatan konektivitas ini membawa manfaat ekonomi besar, tetapi juga mempercepat homogenisasi budaya. Upaya pelestarian warisan lokal kini menjadi tantangan utama agar identitas khas kepulauan Korea tetap hidup di tengah modernisasi.
