Korea Selatan menetapkan larangan penggunaan ponsel di ruang kelas melalui revisi Undang-Undang Pendidikan Dasar dan Menengah. Aturan ini mengikat secara hukum di seluruh negeri dan ditujukan untuk merespons kecenderungan ketergantungan gawai di kalangan remaja serta menjaga fokus belajar. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Maret 2026, atau satu hari sebelum pergantian tahun ajaran baru.
Latar Belakang Kebijakan
Revisi undang-undang ini disahkan di Majelis Nasional dengan dukungan lintas partai. Dari 163 anggota yang hadir, 115 orang setuju, 31 menolak, dan 17 anggota abstain. Tanggal 1 Maret 2026, atau sehari sebelum tahun ajaran baru dimulai, ditetapkan sebagai tanggal dimulainya aturan ini. Tanggal ini dipilih agar sekolah memiliki jeda administrasi untuk menyesuaikan tata tertib dan prosedur internal.
Kebijakan ini memperkuat pedoman administratif Kementerian Pendidikan yang sejak September 2023 telah menganjurkan pembatasan pemakaian ponsel selama jam pelajaran. Dengan adanya payung hukum, sekolah dan pendidik memiliki landasan yang lebih jelas untuk menegakkan aturan serta mengatasi gangguan selama proses belajar.
Ruang Lingkup Aturan
Aturan ini mencakup larangan penggunaan smartphone dan perangkat pintar lainnya saat pelajaran berlangsung. Pengecualian diberikan bila guru atau kepala sekolah mengizinkan untuk tujuan pembelajaran atau dalam keadaan darurat. Peserta didik penyandang disabilitas atau yang mengikuti pendidikan khusus dapat menggunakan perangkat bantu dengan persetujuan sebelumnya.
Undang-undang juga memberikan kewenangan kepada kepala sekolah dan guru untuk membatasi penggunaan atau kepemilikan perangkat bila dinilai perlu demi ketertiban kelas dan kelancaran pengajaran. Implementasi peraturan diserahkan kepada sekolah masing-masing, sehingga formatnya bisa beragam sesuai dengan konteks dan budaya sekolah setempat, mulai dari pengumpulan ponsel sebelum kelas dimulai hingga larangan membawa ponsel ke area sekolah.
Ketergantungan Gawai di Kalangan Remaja
Berbagai indikator menunjukkan tingginya intensitas penggunaan gawai di Korea Selatan. Data pemerintah menunjukkan sekitar 43 persen penduduk usia 10–19 tahun dikategorikan sangat bergantung pada smartphone, hampir dua kali rata-rata nasional yaitu sekitar 25 persen. Secara umum, tingkat penggunaan teknologi ini juga sangat tinggi, di mana 99 persen penduduk rutin menggunakan internet dan sekitar 98 persen memiliki smartphone.
Survei Kementerian Pendidikan menggambarkan bagaimana media sosial memengaruhi keseharian pelajar. Sebagian besar siswa menilai aktivitas di platform digital berpengaruh nyata pada kehidupan sehari-hari. Sejumlah responden merasa cemas ketika tidak bisa mengakses akun media sosial mereka, dan banyak yang mengaku kesulitan mengatur durasi penggunaan smartphone. Temuan internal organisasi guru juga menyebutkan bahwa sebagian besar pendidik mengalami gangguan terkait ponsel di kelas, mulai dari menurunnya perhatian sampai terganggunya alur pelajaran.
Tanggapan
Orang tua umumnya memandang kebijakan ini sebagai upaya untuk mengembalikan fokus pada kegiatan inti sekolah seperti belajar, interaksi langsung, dan pengembangan minat. Kekhawatiran mengenai perundungan siber serta intensitas komunikasi daring turut menjadi alasan lainnya untuk membatasi penggunaan gawai di ruang kelas.
Sementara itu, kalangan pendidik memiliki respons yang beragam. Federasi Guru yang konservatif menyambut positif kebijakan ini karena memberi dasar hukum yang lebih kuat untuk mengatasi gangguan belajar. Di sisi lain, serikat guru yang lebih progresif tidak mengeluarkan posisi resmi, dan sebagian anggotanya menilai pembatasan berpotensi bersinggungan dengan hak digital siswa. Ada pula pandangan yang menekankan bahwa tantangan pendidikan tidak hanya terkait dengan perangkat saja, tetapi juga ekosistem penilaian dan seleksi masuk perguruan tinggi yang sangat kompetitif.
Sebagian siswa mempersoalkan efektivitas larangan selama jam pelajaran karena penggunaan ponsel di luar sekolah masih tinggi. Mereka mengusulkan pendekatan literasi digital yang membantu mengatur penggunaan ponsel secara mandiri. Kelompok advokasi anak menyoroti isu kebebasan komunikasi dan privasi, sementara sebagian partai kiri menggarisbawahi pentingnya pembiasaan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab di lingkungan digital.
Implementasi di Sekolah
Undang-undang tidak menentukan sanksi yang seragam. Penanganan pelanggaran diserahkan pada tata tertib sekolah. Respons dapat dimulai dari peringatan, konseling, pembinaan perilaku, hingga tindakan disipliner sesuai tingkat pelanggaran. Guru dan kepala sekolah memiliki kewenangan untuk menyita perangkat bila dibutuhkan guna menjaga ketertiban pembelajaran.
Fleksibilitas ini memungkinkan sekolah untuk menyeimbangkan tujuan pendidikan dengan karakteristik peserta didik dan ekspektasi komunitas setempat. Putusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Korea pada 2024 yang menyatakan penyitaan kolektif ponsel tidak melanggar hak siswa turut menjadi rujukan dalam penyusunan prosedur di tingkat sekolah.
Perubahan Ekosistem Belajar
Larangan penggunaan ponsel di ruang kelas yang berlaku secara nasional menandai fase baru pengelolaan ekosistem belajar di Korea Selatan. Aturan ini menempatkan ruang kelas sebagai zona fokus belajar, sekaligus memberi keleluasaan bagi sekolah untuk menyesuaikan penerapan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.