Pansori: Musikal Korea yang Bertahan Melintasi Zaman

on in Culture
Pertunjukan pansori di Busan Cultural Center. Foto: Steve46814 (Wikipedia)

Pansori adalah genre musikal tradisional Korea yang unik, di mana seorang penyanyi solo, yang dikenal sebagai sorikkun, menyampaikan kisah epik dengan iringan ritmis dari seorang penabuh drum, atau gosu. Sejak kemunculannya pada akhir abad ke-17, seni bercerita pansori telah memikat penonton dengan narasi yang sarat dengan nilai moral, cinta, dan kebajikan. Pengakuan UNESCO terhadap pansori sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia pada tahun 2003 menegaskan pentingnya seni ini dalam kebudayaan Korea.

Sorikkun memainkan peran sentral dalam pertunjukan pansori. Dengan suara yang kuat dan penuh ekspresi, sorikkun membawa penonton menyelami kisah yang dibawakan di atas panggung. Untuk mencapai tingkat keahlian ini, seorang sorikkun harus menjalani pelatihan yang intensif. Pelatihan tersebut meliputi pengembangan gaya vokal khas, menggabungkan nyanyian melodi dengan pidato berirama. Suara yang dihasilkan harus berasal dari perut, bukan dari tenggorokan, sehingga menghasilkan suara yang kasar dan khas.

Latihan keras ini sering kali dilakukan di dekat air terjun untuk memperkuat suara, dengan tujuan mengembangkan suara yang “kasar” namun penuh tenaga. Tidak mengherankan jika terdapat pepatah yang mengatakan bahwa seorang sorikkun membutuhkan “sepuluh tahun berlatih di dekat batu, dan sepuluh tahun di dekat pohon” untuk benar-benar menguasai seni ini.

Sorikkun juga diharapkan mampu untuk memerankan berbagai karakter dalam cerita, menggunakan suara, gerakan, dan kipas tangan untuk menghidupkan narasi. Dengan demikian, pansori tidak hanya menggabungkan elemen musik, tetapi juga sastra dan teater, menjadikannya bentuk seni yang komprehensif.

Dari dua belas epik pansori tradisional, hanya lima yang masih bertahan hingga saat ini. Kelima mahakarya tersebut dikenal sebagai “Pansori Jeongak Yeojeong”, yaitu “Chunhyangga”, “Simcheongga”, “Heungbuga”, “Sugungga”, dan “Jeokbyeokga”. Setiap epik memiliki cerita yang unik, sering kali berpusat pada tema cinta, kesetiaan, dan nilai moral, yang mencerminkan konteks sosial dan budaya pada zamannya.

Seiring berjalannya waktu, peran sorikkun telah mengalami evolusi. Beberapa sorikkun pada hari ini masih mempertahankan gaya tradisional, sementara yang lain mulai mengadaptasi pansori ke dalam konteks kontemporer. Sebagai contoh, Lee Heemoon, seorang sorikkun yang mengkhususkan diri dalam lagu-lagu rakyat dari Provinsi Gyeonggi-do, menempuh jalur yang tidak konvensional dalam karirnya. Dengan bekal pendidikan produksi film di Jepang dan pengalaman sebagai asisten sutradara untuk video musik, Lee memulai karir profesionalnya sebagai sorikkun pada usia 27 tahun. Latar belakang yang beragam ini menunjukkan bagaimana sorikkun modern dapat membawa perspektif baru ke dalam kesenian tradisional ini.

Di balik setiap sorikkun yang hebat, terdapat seorang gosu yang juga berperan penting dalam pertunjukan pansori. Gosu memberikan landasan ritmis yang mendukung dan meningkatkan ritme narasi sorikkun. Dengan menggunakan drum berbentuk tong yang disebut soribuk, gosu menciptakan pola ritmis yang dikenal sebagai jangdan, yang mengikuti alur emosional dan naratif dari pertunjukan.

Peran gosu tidak terbatas hanya sebagai pengiring saja. Gosu yang terampil harus memiliki pengetahuan mendalam tentang epik dalam pansori, memahami nuansa dari setiap cerita dan pola ritmis tradisional yang terkait dengan berbagai adegan dan emosi. Pemahaman ini memungkinkan gosu untuk mengantisipasi dan merespons improvisasi penyanyi, memastikan bahwa pertunjukan berjalan secara kohesif dan memikat.

Meskipun di masa lalu peran gosu dianggap sekunder, pengakuan modern terhadap pansori telah membantu mengangkat peran gosu sebagai mitra setara dalam pertunjukan. Hal ini mencerminkan perkembangan pemahaman tentang interaksi kompleks antara ritme dan narasi yang mendefinisikan pansori sebagai bentuk seni yang unik.

Pansori dikenal dengan kostum yang sederhana namun elegan. Sorikkun biasanya mengenakan hanbok, pakaian tradisional Korea, yang terdiri dari jeogori (jaket) dan baji (celana) untuk pria atau chima (rok) untuk wanita. Properti yang paling khas dalam pansori adalah hapjukseon, kipas lipat yang dipegang oleh penyanyi. Kipas ini digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari mewakili objek hingga menekankan gerakan selama pertunjukan. Kostum dan properti juga berperan dalam menyoroti kemampuan vokal dan naratif para pelaku seni, sehingga penonton dapat mendalami cerita yang dibawakan.

Pengakuan pansori oleh UNESCO pada tahun 2003 sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia membawa dampak signifikan terhadap pelestarian dan promosi kesenian ini di Korea Selatan. Sejak pengakuan tersebut, pemerintah Korea semakin gencar dalam melancarkan upaya untuk melindungi seni tradisional ini, yang sebelumnya terancam oleh modernisasi yang pesat.

Penetapan pansori sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional pada tahun 1964 dan pengakuan oleh UNESCO telah mendorong dukungan kelembagaan yang lebih besar, sehingga terjadi kebangkitan tradisi ini. Namun, upaya pelestarian ini juga membawa konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti berkurangnya improvisasi dan spontanitas karena teks tertulis menjadi lebih umum, yang berpotensi mengubah karakter asli dari pertunjukan pansori.

Pansori terus berkembang dan menarik perhatian penonton di seluruh dunia, menggabungkan tradisi dengan inovasi. Festival Pansori Dunia perdana pada tahun 2023 merayakan ulang tahun ke-20 pengakuan UNESCO, dengan menampilkan pertunjukan relay pansori selama 20 jam yang melibatkan 60 penampil dari berbagai latar belakang. Acara ini menunjukkan daya tarik pansori yang tetap bertahan dan kemampuannya untuk melampaui batas-batas budaya.

Upaya pelestarian yang dilakukan telah membantu menjaga elemen-elemen inti dari pansori, meskipun masih terdapat perdebatan tentang bagaimana cara untuk menyeimbangkan antara tradisi dan kreativitas. Undang-Undang Pelestarian dan Promosi Properti Budaya Takbenda tahun 2016 mencerminkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih fleksibel, mengubah fokus dari “bentuk asli” ke “bentuk teladan”. Saat pansori beradaptasi dengan konteks kontemporer, seni ini tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Korea, yang terus menginspirasi generasi penampil dan penonton baru.

Dengan segala kompleksitas dan keunikan yang dimilikinya, pansori tidak hanya menjadi saksi bisu dari sejarah budaya Korea, tetapi juga terus hidup dan berkembang di tengah arus perubahan zaman. Penonton, baik di Korea maupun di luar negeri, tetap terpesona oleh keindahan narasi dan keterampilan vokal yang ditampilkan, menjadikan pansori sebagai salah satu bentuk seni yang tak lekang oleh waktu.