jam kerja di korea selatan

Korea Selatan menerapkan batas maksimum 52 jam kerja per minggu yang terdiri dari 40 jam reguler dan hingga 12 jam kerja lembur. Rata-rata jam kerja tahunan di Korea masih tinggi di antara negara maju lainnya, yakni sekitar 1.901 jam pada 2022, atau berada di atas rata-rata negara anggota OECD. Kebijakan jam kerja ini dibangun di atas kerangka hukum yang panjang dan terus diperbarui untuk menyeimbangkan kebutuhan industri dan perlindungan pekerja.

Ilustrasi kontrak kerja. Foto: Signature Pro (Unsplash)

Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan menjadi rujukan utama hubungan kerja di Korea Selatan sejak pertama kali disahkan pada 1947. Undang-undang ini telah beberapa kali direvisi, termasuk pada tahun 2018. Prinsip dasarnya menetapkan standar jam kerja minimum yang tidak boleh diturunkan melalui perjanjian kerja atau kesepakatan individual. Aturan ini juga melarang diskriminasi berdasarkan kebangsaan, keyakinan, ataupun status sosial, serta melarang pembedaan upah berdasarkan gender. Larangan kerja paksa ditegakkan melalui ketentuan yang melarang penggunaan kekerasan, intimidasi, atau pembatasan kebebasan fisik maupun mental.

Undang-undang ini juga mewajibkan pengusaha untuk menyampaikan kondisi kerja secara jelas saat kontrak dibuat, melarang klausul ganti rugi yang ditetapkan di muka untuk kerusakan tempat kerja, serta melarang pemotongan upah untuk melunasi uang muka atau pinjaman. Pengaturan simpanan pekerja pada dasarnya dilarang kecuali dilakukan secara sukarela dengan perjanjian tertulis dan diawasi oleh otoritas terkait. Penegakan hukum dilakukan melalui badan pengawas ketenagakerjaan dan mekanisme sengketa diselesaikan melalui komisi hubungan perburuhan.

Ilustrasi pabrik. Foto: catgirlmutant (Unsplash)

Batas 52 jam diberlakukan bertahap mulai 1 Juli 2018. Perusahaan dengan 300 pekerja atau lebih menerapkannya lebih dulu, disusul dengan perusahaan berukuran menengah pada 2020, dan usaha dengan 5 hingga 49 orang pekerja pada 2021. Usaha dengan kurang dari 5 pekerja dikecualikan, sementara unit dengan kurang dari 30 pekerja sempat menerima kelonggaran tambahan 8 jam per minggu hingga Desember 2022. Kebijakan ini menutup celah perhitungan yang awalnya memisahkan kerja akhir pekan dari akumulasi jam mingguan.

Penegakan hukum ini didukung dengan sanksi pidana. Pelanggaran lembur berlebih dapat dikenai pidana penjara hingga dua tahun atau denda hingga 10 juta won, sedangkan pelanggaran upah memiliki ancaman yang lebih tinggi. Mahkamah Agung pada Desember 2023 menegaskan bahwa penilaian pelanggaran didasarkan pada total jam kerja mingguan yang melebihi 52 jam, bukan perhitungan lembur harian.

Pada 2024, Mahkamah Konstitusi mengukuhkan konstitusionalitas batas 52 jam. Dalam penerapannya, beberapa industri berbasis shift dapat mengatur fluktuasi jam dalam minggu yang berbeda selama rata-ratanya tetap 52 jam dan tidak melebihi 60 jam pada minggu mana pun. Pada 2025, sektor tertentu seperti riset dan pengembangan semikonduktor menerima ketentuan khusus yang memungkinkan hingga 64 jam per minggu dalam skema lembur terbatas.

Pada Maret 2023, pemerintah sempat mengusulkan perhitungan lembur secara bulanan, triwulanan, atau tahunan yang secara praktis dapat memperpanjang jam kerja hingga 69 jam per minggu. Alasan utamanya adalah untuk memudahkan fleksibilitas manajemen jam kerja sesuai siklus beban kerja dan kebutuhan keluarga.

Usulan tersebut memicu penolakan luas, terutama dari pekerja muda dan serikat buruh, yang menilai risiko kesehatan dan keselamatan kerja dapat meningkat jika jam panjang dilegalkan. Setelah menghadapi gelombang kritik, pemerintah menyatakan akan meninjau ulang rancangan dan mengumpulkan masukan lebih luas, sementara wacana alternatif seperti batas yang tidak melampaui 60 jam tetap dibahas pada level kebijakan.