Hyangga: Lahirnya Puisi Asli Korea

on in Literature
Samguk Yusa. Foto: Salamander724 (Public Domain)

Hyangga adalah bentuk puisi pertama yang unik dari Korea yang muncul selama dinasti Silla (57 SM – 935 M) dan berkembang pada periode awal Goryeo (918-1392 M). Ditulis dalam bahasa Korea menggunakan sistem hyangchal yang mengadaptasi karakter Tiongkok untuk mewakili bunyi dan makna Korea, puisi-puisi ini mewakili perkembangan penting dalam pembentukan tradisi sastra Korea yang khas.

Sistem penulisan hyangchal memungkinkan penyair Korea untuk mengekspresikan diri mereka menggunakan bahasa mereka sendiri, berbeda dari puisi Tiongkok dan nyanyian Buddha yang lazim digunakan pada masa itu. Hyang dalam hyangga merujuk pada Korea itu sendiri, menandai karya-karya asli ini sebagai sesuatu yang berbeda dari pengaruh sastra Tiongkok.

Hyangga yang masih bertahan hingga hari ini terdiri dari 25 puisi, dengan 14 tercatat dalam Samguk Yusa (Memorabilia dari Tiga Kerajaan) dan 11 dalam Gyunyeojeon, koleksi oleh biksu Kyunyeo. Puisi-puisi ini memiliki struktur yang khas, di mana sebagian besar puisi terdiri dari 4, 8, atau 10 baris, di mana hyangga dengan 10 baris menjadi yang paling berkembang. Hyangga 10 baris dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dua kuatrain dan satu bait penutup. Baris kesembilan sering dimulai dengan seruan, menandai akhir yang biasanya berisi keinginan, perintah, atau seruan.

Secara tematis, hyangga sering mengeksplorasi ajaran Buddha, kematian dan perasaan berduka, serta pujian untuk prajurit dan bangsawan. Banyak dari puisi ini mungkin dibuat untuk dinyanyikan dan dipertunjukkan demgan iringan musik dan tarian. Ini menunjukkan bahwa hyangga tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai bagian dari budaya pertunjukan pada zamannya.

Dari 25 puisi hyangga yang masih ada, beberapa yang paling terkenal di antaranya adalah “Song of Choyong” (879 M), yang menceritakan kisah Choyong, putra Raja Naga, yang berhadapan dengan Roh Cacar. “Jemangmae-ga” (Ratapan untuk Saudaraku), adalah sebuah elegi yang ditulis oleh biksu Wolmyeong untuk meratapi kematian saudara perempuannya, terkenal karena metaforanya yang luar biasa dan bentuknya yang halus. “Ode to Eternal Life,” sebuah himne Buddha yang menyerukan pencerahan, dipercaya ditulis oleh biksu Gwangdeok atau istrinya.

Puisi-puisi yang masih tersisa ini memberikan wawasan berharga tentang lanskap sastra, budaya, dan agama pada masa Silla dan awal Goryeo, menunjukkan bentuk dan tema puisi yang unik yang mendefinisikan tradisi hyangga.

Beberapa hyangga yang paling dikenal termasuk “Song of a Comet” (594 M) yang konon dapat mengusir pertanda buruk, “Song of Sodong” (sekitar 600 M) yang ditulis oleh Raja Mu dari Baekje untuk memenangkan hati Putri Seonhwa, dan “Regret” (737 M) yang mencela janji seorang raja yang dilanggar. Kumpulan “Ten Vows of Bodhisattva Samantabhadra” karya Kyunyo (923-973 M) juga sangat dihormati, dengan puisi paling terkenalnya menyerukan pemutaran roda dharma dan menggunakan bulan sebagai metafora untuk pencerahan.

Puisi hyangga mencerminkan lingkungan budaya dan religius pada masa Silla dan awal Goryeo Korea. Buddhisme, yang diperkenalkan ke semenanjung Korea pada abad ke-4 M, memiliki pengaruh besar pada tema dan citra dari banyak hyangga. Puisi seperti “Ode to Eternal Life” dan puisi dari koleksi “Ten Vows of Bodhisattva Samantabhadra” menggambarkan cita-cita Buddhis tentang pencerahan dan pengabdian yang meresapi karya-karya sastra biksu-penyair.

Lonceng Kuil Bongdeoksa. Foto: Steve46814 (Creative Commons)

Di samping Buddhisme, sistem kepercayaan asli Korea, yaitu shamanisme, juga meninggalkan jejaknya pada tradisi hyangga. “Song of Choyong,” yang menampilkan protagonis dengan kualitas shamanik yang menenangkan roh jahat, menggambarkan keberadaan dan percampuran tradisi religius ini dalam masyarakat Korea kuno.

Hyangga juga berfungsi sebagai jendela untuk melihat hierarki sosial dan nilai-nilai pada periode Silla dan Goryeo. Banyak puisi, seperti yang meratapi kematian prajurit dan bangsawan atau memuji kebajikan mereka, mencerminkan pentingnya keberanian militer dan kebangsawanan dalam masyarakat berstrata pada masa itu. “Song of Sodong” dan “Regret” menggambarkan manuver politik yang kompleks dan hubungan pribadi di antara para elit penguasa.

Meskipun sebagian besar puisi hyangga yang ditemukan mencerminkan tema-tema Buddhis dan shamanistik, beberapa karya juga menggabungkan ide-ide dan nilai-nilai Konfusian, yang semakin memengaruhi masyarakat Silla. Dengan penekanannya pada harmoni sosial, kesalehan anak, dan kesetiaan, unsur Konfusianisme dapat dilihat dalam beberapa hyangga yang memuji kebajikan tokoh terkenal atau mengungkapkan kesedihan atas kepergian mereka.

Misalnya, hyangga “Ode to Knight Chukchi,” yang ditulis oleh Tugo pada akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8, memuji sifat-sifat terpuji dari tuannya, meratapi berlalunya waktu dan pengaruhnya terhadap wajah tuannya yang dulu “indah dan cerah.” Penghormatan terhadap atasan dan pengakuan akan kefanaan ini sesuai dengan nilai-nilai Konfusian tentang rasa hormat dan penerimaan tatanan alam.

Kuas kaligrafi. Foto: Karl (Creative Commons)

Demikian pula, hyangga elegi seperti “Jemangmaega” yang ditulis oleh biksu Wolmyeong untuk memperingati kematian saudaranya. Hyangga ini tidak hanya menampilkan tema-tema Buddhis tentang kefanaan, tetapi juga nilai Konfusian tentang pengabdian keluarga. Bentuk puisi yang halus dan metafora yang menyentuh berfungsi untuk menghormati kenangan seorang yang dicintai, mencerminkan pentingnya tugas-tugas keluarga dan pemeliharaan ikatan keluarga dalam ideologi Konfusian.

Meskipun tema-tema Konfusian mungkin tidak sejelas elemen-elemen Buddhis atau shamanistik dalam hyangga yang masih ada, kehadiran mereka menunjukkan pengaruh Konfusianisme yang semakin besar dalam masyarakat Silla dan integrasinya ke dalam lanskap sastra pada masa itu.

Hyangga mewakili tonggak penting dalam perkembangan sastra Korea, menandai munculnya bentuk puisi yang khas yang memadukan bahasa dan tema asli Korea dengan pengaruh karakter Tiongkok dan pemikiran Buddha. Puisi-puisi yang ditulis selama periode Silla dan awal Goryeo ini memberikan wawasan berharga tentang lanskap budaya, religi, dan sosial dari Korea kuno.

Meskipun jumlah karya yang ditemukan terbatas, hyangga menunjukkan keragaman tema yang kaya, mulai dari cita-cita Buddhis tentang pencerahan hingga nilai-nilai Konfusian tentang kesetiaan dan kesalehan anak, serta kepercayaan shamanistik asli. Struktur dan gaya unik dari hyangga yang dicirikan oleh penggunaan sistem penulisan hyangchal dan komposisi dalam tiga bentuk yang berbeda, membedakannya dari tradisi sastra Tiongkok yang sebelumnya mendominasi semenanjung Korea.

Warisan hyangga telah melampaui signifikansi historis dan sastranya. Mereka memainkan peran penting dalam membentuk suara puisi Korea yang khas dan membuka jalan bagi perkembangan tradisi sastra Korea selanjutnya. Dengan mengadaptasi karakter Tiongkok untuk mewakili bahasa Korea dan mengisi karya mereka dengan tema serta nilai asli Korea, para penyair hyangga meletakkan fondasi bagi identitas sastra Korea yang hidup dan abadi hingga hari ini.