Hermit Kingdom: Korea dan Era Isolasinya

on in History
“Weolha Jeongin”, lukisan oleh Shin Yoon-bok, pelukis dari akhir era Joseon. (KOREA.net)

Korea mendapat julukan “Hermit Kingdom” karena pilihannya untuk membatasi kontak dengan dunia luar yang dimulai pada era dinasti Joseon. Namun, di balik tabir isolasinya, terjadi perubahan dramatis yang tidak hanya membuka pintu kepada kekuatan asing tapi juga menandai awal dari perubahan yang drastis. Transisi ini bukan sekadar perubahan geografis atau politik saja, melainkan sebuah perjalanan yang menggugat inti dari identitas dan kedaulatan Korea, membawa negeri ini dari kedalaman isolasi ke panggung kolonisasi.

Di bawah pemerintahan raja Yŏngjo (1724–1776) dan Chŏngjo (1776–1800), Korea mengalami kemakmuran. Namun, memasuki abad ke-19, Korea memasuki periode di mana raja-raja yang tidak memiliki kuasa didominasi oleh klan-klan kuat yang bergabung dengan monarki melalui pernikahan kerajaan.

Sejarawan melihat ini sebagai tanda bahwa Korea memasuki masa kemunduran setelah tahun 1800. Hal ini terlihat dari pemberontakan di barat laut pada tahun 1811–1812, kerusuhan beras di Seoul pada tahun 1833, dan berbagai pemberontakan petani skala kecil yang ditujukan kepada pejabat lokal.

Namun, institusi politik dan sosial Korea tampak cukup stabil. Dominasi sosial dan ekonomi oleh elit yangbang warisan (kelas sosial tertinggi di Korea selama dinasti Joseon), yang bersaing untuk mendapatkan kursi jabatan di pemerintah dengan mengikuti ujian layanan sipil, tetap terjaga.

Lalu pada abad ke-17 dan awal abad ke-18, Korea mengalami peningkatan populasi, yang diimbangi oleh peningkatan produksi pertanian. Angka kelaparan pun terpantau mengalami penurunan setelah tahun 1750. Selain itu, seni dan sastra tradisional juga berkembang baik hingga memasuki abad ke-19. Beberapa sarjana, yang kemudian disebut fraksi Sirhak atau “Pembelajaran Praktis”, secara aktif mengkritik masalah politik, ekonomi, dan sosial secara terbuka.

Korea menerapkan kebijakan yang sangat ketat dalam membatasi kontak dengan dunia luar dibandingkan negara lain. Warga Korea dilarang bepergian ke luar negeri kecuali dalam misi diplomatik ke Tiongkok atau Jepang. Pedagang Tiongkok dapat berdagang di beberapa kota perbatasan, sedangkan pedagang Jepang hanya diizinkan berdagang di sebuah kompleks berdinding di Busan.

Walaupun rakyat Korea memandang Tiongkok sebagai pusat peradaban, mereka menganggap Manchu sebagai pemerintahan yang “barbar”, sedangkan orang Jepang dipandang sebagai masyarakat yang kurang beradab. Korea memiliki kontak terbatas dengan dunia luar, dengan sarjana dan pejabat dikirim dalam misi diplomatik untuk bertemu dengan misionaris dan memperoleh sedikit pengetahuan tentang sains dan agama Barat. Namun, hanya sedikit warga Korea yang tampaknya menganggap serius orang Eropa sebagai pemengaruh tradisi Barat.

Pada abad ke-19, lingkungan Korea mengalami perubahan signifikan. Kapal-kapal dari Inggris, Prancis, dan Rusia mulai terlihat di lepas pantai Korea. Melalui misi diplomatiknya di Tiongkok, pejabat Joseon mulai menyadari perubahan yang terjadi di Asia Timur, termasuk kekalahan China dalam Perang Opium (1839–1842), paksaan terhadap Jepang untuk membuka diri terhadap Barat setelah 1854, dan kemajuan Rusia ke Sungai Tumen di perbatasan timur laut Korea pada tahun 1860.

Kekhawatiran lain muncul bersamaan dengan berdirinya kelompok pengikut Katolik yang dikenal sebagai Sŏhak atau Pembelajaran Barat. Mereka telah menimbulkan konflik karena menolak pelaksanaan ritual keagamaan Konfusianisme dan dikhawatirkan memiliki kaitan dengan negara asing, mengakibatkan terjadinya persekusi terhadap komunitas Kristen pada tahun 1801 dan 1839.

Dalam menghadapi ancaman eksternal ini, Taewŏn’gun, ayah dan wali raja muda Kojong, berupaya keras memperkuat negara dari tahun 1864 hingga ia diberhentikan pada tahun 1873. Dia melaksanakan reformasi pajak penting dan menghapuskan sebagian besar sŏwŏn, sekolah swasta yang menjadi basis institusional bagi fraksi aristokrat dan kritikus istana. Taewŏn’gun juga melancarkan persekusi besar terhadap pengikut Kristen pada tahun 1866, termasuk eksekusi sembilan misionaris Prancis dan menolak segala upaya dari luar untuk mengakhiri kebijakan isolasi Korea.

Ketika Prancis mengirimkan ekspedisi hukuman ke Korea, mereka dihadang oleh perlawanan lokal dan terpaksa mundur tanpa hasil. Demikian pula, ketika kapal pedagang Amerika General Sherman mencoba melakukan perdagangan dengan melawan larangan Korea terhadap kapal asing dan menolak perintah untuk pergi, kapal itu dibakar dan semua orang di dalamnya tewas.

Upaya AS selanjutnya pada tahun 1871 untuk menghukum Korea dan memaksa pembukaan pelabuhannya dihadapi dengan perlawanan keras dari Korea, menyebabkan cukup banyak korban di pihak Amerika hingga mereka memutuskan untuk mundur. Taewŏn’gun dengan bangga mendirikan tanda batu yang menyatakan penolakan terhadap penjajahan dan pengkhianatan terhadap bangsa.

Reformasi yang dilakukan oleh Taewŏn’gun pada seperempat akhir abad ke-19 menunjukkan bahwa negara di bawah dinasti Joseon belum mencapai titik kemunduran yang tidak dapat dipulihkan. Namun, Joseon menghadapi kesulitan dalam mengatasi tantangan baru, terutama terjebak dalam persaingan kekuasaan antara Tiongkok, Jepang, Rusia, dan Inggris.

Pasca Restorasi Meiji, Jepang mencoba membuka hubungan dengan Korea pada 1869, namun ditolak karena penampilan dan sikap diplomat mereka. Pada 1876, Jepang memaksa Korea membuka diri melalui Traktat Kanghwa, yang mengakhiri isolasi Korea dan memulai proses kolonisasi oleh Jepang yang pada akhirnya mengganggu tatanan ekonomi dan politik Korea, serta membawa Korea ke dalam rivalitas imperialisme abad ke-19.

Julukan “Hermit Kingdom” mencerminkan isolasi Korea dari dunia luar, yang mempertahankan kestabilan namun membatasi interaksi dan inovasi. Pada abad ke-19, perubahan global memaksa Korea menghadapi tantangan dari kekuatan asing, memicu konflik internal dan eksternal yang menandai akhir isolasinya. Reformasi Taewŏn’gun menunjukkan upaya penguatan negara, tetapi persaingan imperialisme, terutama dari Jepang, mengubah dinamika kekuasaan dan membuka Korea ke pengaruh luar, mengakhiri era isolasi dan memulai bab baru dalam sejarahnya.