Budaya kebugaran di Korea Selatan menunjukkan paradoks yang terlihat dengan jelas. Di satu sisi, kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat meningkat tajam seiring dengan maraknya gerakan “Ounwan”. Ekosistem media sosial pun mendorong orang untuk berolahraga dan membagikan progresnya. Namun di sisi lain, industri gym justru mengalami tekanan berat dengan rekor penutupan ratusan pusat kebugaran dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini melibatkan perubahan perilaku konsumen dan adopsi teknologi di fasilitas kebugaran.
Etiket di Gym
Etiket di gym Korea berakar pada kebiasaan masyarakat dalam menjaga kebersihan. Pengguna diminta untuk mengganti sepatu sebelum masuk area latihan. Sepatu luar ruangan dianggap tidak pantas menyentuh lantai gym, sehingga anggota biasanya membawa sepatu khusus yang hanya dipakai di dalam ruangan. Kebiasaan ini sejalan dengan praktik melepas sepatu di dalam ruang pada umumnya.
Area loker menjadi ruang penyesuaian bagi pendatang baru. Ketelanjangan komunal dianggap lumrah di ruang ganti dan kamar mandi, mulai dari mandi sebelum berolahraga hingga setelah berenang. Memakai pakaian renang di zona shower sering dipandang sebagai tindakan yang kurang sesuai, sehingga pengguna gym diharapkan untuk mengikuti tata cara yang berlaku. Bagi sebagian orang, hal ini memerlukan waktu adaptasi, namun bagi anggota lama hal tersebut merupakan bagian dari rutinitas.
Suasana di ruang latihan cenderung tenang, dan anggota lebih berfokus pada program masing-masing. Percakapan singkat ataupun sapaan rutin umumnya datang dari pelatih pribadi. Di beberapa tempat, penataan ulang beban dan pembersihan perlengkapan gym tidak selalu konsisten. Fasilitas biasanya menekankan kepraktisan, misalnya menyediakan handuk, loker luas, dan opsi penyewaan pakaian olahraga berbayar demi memudahkan anggota yang datang langsung ke gym dari kantor atau sekolah.
Model Bisnis dan Krisis
Pertumbuhan minat untuk menjaga pola hidup sehat tidak otomatis menjamin keberlanjutan usaha gym. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak gym tutup karena perang harga yang agresif. Munculnya jaringan gym besar dengan biaya rendah menekan margin pelaku kecil. Meskipun menarik minat konsumen, biaya keanggotaan yang sangat murah justru menggerus kemampuan usaha untuk menutup biaya sewa, listrik, perawatan alat, dan gaji staf. Dampaknya, proses alih usaha yang dulunya lazim disertai dengan biaya pengalihan kini sering kali tidak dilakukan karena pemilik memilih menutup usaha tanpa kompensasi.
Penjualan paket pra-bayar menjadi masalah lainnya. Sebagian konsumen membeli keanggotaan jangka panjang atau paket pelatihan personal dengan harga diskon, lalu mendapati fasilitas tiba-tiba berhenti beroperasi. Pengaduan terkait kesulitan pengembalian dana pun meningkat, menandakan lemahnya perlindungan ketika pelaku usaha mengalami gagal bayar atau menutup usaha sebelum layanan selesai diberikan. Praktik promosi berbiaya sangat rendah sering menjadi penanda risiko karena tidak seimbang dengan biaya operasional.
Laju penutupan yang tinggi memperlihatkan rapuhnya model bisnis gym berbasis volume keanggotaan. Persaingan harga, biaya tetap yang tinggi, serta ketergantungan pada penjualan paket di muka membuat banyak gym sulit berumur panjang. Pelaku industri menilai gym memiliki masa bertahan rata-rata yang pendek bila tidak disertai dengan diferensiasi layanan atau pengelolaan biaya yang ketat.
Baca Juga: Budaya Diet di Korea
Tren Olahraga Populer
Perubahan selera olahraga tampak pada generasi muda. Gerakan “Ounwan” mendorong konsistensi latihan harian yang berfokus pada proses, bukan sekadar penurunan berat badan. Di saat yang sama, tren pemotretan profil tubuh menjadi proyek jangka pendek yang terstruktur. Peserta menempuh program ketat selama beberapa bulan untuk mencapai bentuk tubuh tertentu, lalu mengabadikannya dalam sesi foto profesional. Setelah target visual terpenuhi, sebagian orang kembali ke rutinitas biasa, sehingga terbentuk siklus naik turun dalam kebiasaan berolahraga.
Di luar gym, kegiatan seperti panjat tebing dan lari menarik banyak peminat. Komunitas lari, mulai dari klub kota hingga ajang maraton lokal, tumbuh dengan cepat. Aktivitas ini menjadi ruang ekspresi personal, di mana peserta dapat mencatat progres yang jelas dan berpartisipasi kapanpun. Preferensi ini sejalan dengan pencarian makna individual dalam aktivitas kebugaran, bukan semata mengikuti pola latihan kelompok yang seragam.
Program kebugaran berbasis kepribadian juga muncul, misalnya pendekatan yang memetakan tipe kepribadian untuk menyusun pola latihan. Konten dari pembuat materi kebugaran di media sosial pun turut memperkenalkan variasi latihan yang disesuaikan dengan karakter pengguna. Tujuannya adalah untuk membantu anggota menemukan gaya yang selaras dengan motivasi dan kebiasaan masing-masing.
Peran Media Sosial
Media sosial membentuk lanskap kebugaran di Korea. Dokumentasi latihan harian, perbandingan sebelum dan sesudah latihan jangka panjang, hingga resep makan sehat beredar luas. Ekspresi kebugaran telah menjadi bagian dari identitas digital, sehingga aktivitas olahraga tidak lagi sepenuhnya privat. Keterbukaan ini mempercepat penyebaran informasi dan membangun rasa kebersamaan, sekaligus menempatkan hasil visual sebagai ukuran capaian yang mudah dilihat publik.
Dorongan untuk menampilkan progres yang jelas memengaruhi pilihan aktivitas. Tantangan mingguan, program berjangka, dan format latihan yang fotogenik menjadi populer karena mudah diikuti dan dibagikan. Di satu sisi, ini memudahkan orang menjaga konsistensi melalui dukungan sosial. Namun di sisi lain, orientasi pada tampilan kadang menggeser fokus dari kebiasaan jangka panjang ke pencapaian yang mudah diabadikan.
Baca Juga: Lookism di Korea
Teknologi di Fasilitas Kebugaran
Fasilitas kebugaran di Korea mengadopsi infrastruktur teknologi dan komputer untuk mengembangkan layanan. Sejumlah inisiatif menghadirkan pengalaman olahraga dengan bantuan teknologi, termasuk program olahraga virtual yang memungkinkan simulasi aktivitas seperti golf, ski, atau hoki dalam ruang tertutup. Pendekatan ini memperluas jenis latihan tanpa memerlukan ruang fisik yang besar dan dapat diintegrasikan ke lingkungan pendidikan maupun pusat komunitas.
Integrasi sensor dan konsep Internet of Things (Internet untuk Segala) mendukung pemantauan pola latihan serta penyesuaian program. Data mengenai frekuensi, intensitas latihan, dan bentuk gerakan dipakai untuk menyusun rekomendasi yang lebih presisi. Bagi pengelola, analitik membantu melihat keterisian fasilitas, kebutuhan perawatan alat, dan pola kunjungan anggota. Bagi pengguna, teknologi dapat memberi umpan balik yang lebih terukur dibandingkan dengan pemantauan manual.
Pelatihan Pribadi Berbasis AI
Sistem pelatihan berbasis kecerdasan buatan berkembang sebagai pelengkap layanan pelatih manusia. Perangkat pintar dan mesin latihan yang terhubung aplikasi mampu membaca postur, tempo repetisi, dan beban yang digunakan. Aplikasi kemudian memberi saran koreksi bentuk dan penyesuaian beban secara langsung, sekaligus menyusun progres latihan hari ke hari berdasarkan riwayat masing-masing pengguna.
Ekosistem ini memanfaatkan perangkat yang umum digunakan bagi pengguna, seperti ponsel, jam tangan pintar, atau televisi cerdas. Riwayat latihan tersimpan dan mudah ditinjau kembali, sehingga pengguna dapat melihat perkembangan tanpa perlu pencatatan terpisah. Bagi pengelola, otomatisasi sebagian fungsi pemantauan membantu dalam menekan biaya layanan tanpa mengurangi personalisasi.
Budaya gym di Korea bergerak di antara tuntutan kebersihan dan etiket yang khas, preferensi latihan yang semakin personal, serta tekanan ekonomi yang menantang model bisnis lama. Media sosial mempercepat adopsi tren dan menambah dimensi performatif pada olahraga, sementara teknologi dan AI menawarkan cara baru untuk memantau dan menyesuaikan program latihan.