Bakti keluarga, yang dalam bahasa Korea dikenal sebagai “hyo” (효), adalah salah satu kebajikan penting dalam ajaran Konfusianisme yang mengutamakan penghormatan, kepatuhan, dan perawatan terhadap orang tua dan leluhur. Konsep ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Korea, yang tidak hanya berlaku semasa kecil saja, tetapi juga menjadi komitmen seumur hidup untuk menghormati dan mendukung para orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua.
Akar Konfusianisme dalam Konsep Bakti
Konsep bakti dalam budaya Korea berakar dalam filsafat Konfusianisme, yang berasal dari Tiongkok dan menyebar ke seluruh Asia Timur. Dalam ajaran Konfusianisme, yang dikenal sebagai “Ruism” di Tiongkok kuno, terdapat penekanan pada prinsip-prinsip moral dan sosial yang mengatur hubungan antarmanusia.
Bakti kepada orang tua adalah salah satu pilar utama dari ajaran ini. Karakter Tiongkok 孝 (xiào), yang diucapkan “hyo” dalam bahasa Korea, melambangkan gagasan penting ini. Menurut pemikiran Konfusianisme, bakti kepada orang tua tidak hanya berarti menghormati dan merawat orang tua kandung saja, tetapi juga mencakup penghormatan kepada leluhur dan orang tua lain dalam masyarakat. Dalam budaya Korea, konsep ini diadaptasi untuk memperkuat hierarki sosial dan mempromosikan kepemimpinan moral dalam konteks budaya lokal.
Efeknya, konsep ini menjadi bagian penting dalam struktur sosial dan politik Korea, memengaruhi dinamika keluarga dan bahkan birokrasi negara. Hubungan yang vertikal, antara anak dan orang tua, berkembang dalam hubungan yang disebut sebagai “hyojeong” (효정), yang mencakup tidak hanya hubungan batin kepada orang tua tetapi juga hubungan yang lebih luas di dalam masyarakat.
Ritual dan Upacara yang Mewujudkan Bakti
Dalam budaya Korea, konsep bakti terhadap orang tua tidak hanya hadir dalam nilai-nilai moral, tetapi juga diwujudkan dalam berbagai ritual dan upacara. Salah satu ritual penting adalah sebae (세배), yang dilakukan saat Seollal (Tahun Baru Korea).
Anak-anak mengenakan hanbok dan memberikan hormat yang mendalam kepada orang tua, mengharapkan keberuntungan untuk tahun yang baru. Sebagai balasannya, para orang tua memberi sebaetdon (세뱃돈), atau “uang penghormatan”, sebagai bentuk penghargaan atas kesopanan anak-anak mereka.
Ritual lain yang sangat penting adalah jesa (제사), yaitu upacara peringatan leluhur yang dilakukan pada hari peringatan kematian dan hari libur besar seperti Chuseok (Thanksgiving Korea). Dalam jesa, keluarga menyiapkan persembahan berupa makanan dan minuman bagi roh leluhur mereka.
Prosesi ini dilakukan dengan urutan tertentu, mulai dari menyalakan dupa, memberi hormat, menuangkan minuman ke cangkir seremonial, hingga memberi waktu bagi para leluhur untuk “menyantap” persembahan tersebut. Ritual ini memperlihatkan bentuk penghormatan dan rasa tanggung jawab kepada para leluhur. Beberapa praktik lainnya seperti beolcho (벌초), yaitu membersihkan kuburan leluhur menjelang Chuseok, juga merupakan cerminan nyata dari perawatan dan penghormatan berkelanjutan kepada leluhur.
Simyosali (시묘살이) merupakan salah satu bentuk dari bakti yang ekstrem, di mana seorang anak tinggal di dekat makam orang tuanya selama tiga tahun setelah kematian mereka. Meski tidak lagi umum, praktik ini menunjukkan tingkat penghormatan yang sangat tinggi dalam budaya Korea di masa lalu.
Di masa kini, ekspresi hyo lebih bersifat informal namun tetap menekankan pentingnya penghormatan dan perawatan terhadap orang tua dan orang yang lebih tua. Anak-anak sering membantu menyiapkan makanan, membantu pekerjaan rumah tangga, atau memberikan dukungan finansial kepada orang tua yang sudah lanjut usia. Konsep ini juga diperluas oleh kelompok agama tertentu di Korea, yang mendorong penggabungan konsep bakti tradisional dengan pengabdian yang lebih luas untuk kesejahteraan keluarga, komunitas, bahkan dunia.
Relevansi Konsep Bakti dalam Kehidupan Modern
Meskipun masyarakat Korea mengalami perubahan sosial yang cepat, konsep bakti tetap menjadi elemen penting yang terus memengaruhi kehidupan sehari-hari, walaupun bentuk dan cara penerapannya berubah mengikuti dinamika zaman. Salah satu perubahan yang mencolok adalah pergeseran dari struktur keluarga besar ke keluarga inti. Hal ini memengaruhi bagaimana hyo dipraktikkan, dengan anak-anak dewasa yang sering kali tinggal terpisah dari orang tua mereka, tetapi tetap menjalin kontak secara teratur melalui panggilan telepon, kunjungan, atau dukungan finansial.
Penuaan populasi yang cepat di Korea telah membawa tantangan dan interpretasi baru terhadap kebaktian. Penekanan yang lebih besar terhadap perawatan orang tua mengarah pada pengembangan berbagai program kesejahteraan sosial dan kebijakan untuk mendukung lansia. Kebijakan ini, dalam banyak hal, bisa dilihat sebagai perwujudan dari kebaktian di tingkat masyarakat yang lebih luas.
Di dunia kerja, konsep ini juga masih memiliki peran penting dalam struktur hierarki dan hubungan antarindividu. Penghormatan kepada senioritas tetap menjadi aspek kunci dalam budaya korporasi Korea. Para pegawai muda diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada kolega yang lebih tua, bahkan jika mereka memiliki posisi yang sama. Ini dapat terlihat dalam penggunaan bahasa hormat, pengaturan tempat duduk dalam jamuan perusahaan, dan harapan bahwa para pekerja muda dapat menghormati pendapat para senior.
Pendidikan juga menjadi aspek yang tak terpisahkan dari kebaktian di masa kini. Banyak orang tua yang berinvestasi besar dalam pendidikan anak-anak mereka, melihatnya sebagai cara bagi anak-anak untuk menghormati orang tua dengan meraih kesuksesan. Sebaliknya, anak-anak sering kali merasakan kewajiban yang kuat untuk berprestasi secara akademis demi membanggakan orang tua mereka.
Namun, konsep kebaktian tradisional tidak lepas dari kritik dalam masyarakat Korea modern. Beberapa orang berpendapat bahwa penekanan berlebihan pada bakti pada orang tua dapat menyebabkan dinamika keluarga yang tidak sehat, beban finansial bagi generasi muda, serta memperkuat struktur patriarki. Hal ini menyebabkan perdebatan yang terus berlangsung tentang bagaimana menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan realitas modern.
Meskipun demikian, konsep ini tetap menjadi nilai inti dalam masyarakat Korea, dengan banyak orang muda yang mencoba menginterpretasikan dan menyesuaikannya untuk dunia modern. Upaya ini termasuk mempromosikan hubungan keluarga yang lebih egaliter, mendukung keseimbangan antara kerja dan kehidupan di luar kerja untuk memungkinkan waktu merawat keluarga, dan inisiatif untuk mengatasi penelantaran lansia.
Konsep kebaktian juga telah berkembang melampaui hubungan keluarga dan mencakup tanggung jawab sosial yang lebih luas. Sebagian orang menafsirkan bakti dalam konteks modern sebagai bagian dari pelestarian lingkungan, layanan masyarakat, dan kontribusi kepada masyarakat secara keseluruhan.
Dalam budaya populer, tema kebaktian masih sering muncul dalam drama, film, dan literatur Korea, yang sering mengeksplorasi ketegangan antara harapan tradisional dan realitas modern. Penggambaran ini membantu menjaga relevansi konsep bakti dan memicu diskusi tentang perannya dalam kehidupan Korea kontemporer.
Di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, prinsip bakti tetap menjadi kekuatan budaya yang signifikan, berkembang untuk memenuhi kebutuhan dan nilai dari setiap generasi baru, sambil mempertahankan inti dari penghormatan, perawatan, dan ikatan antargenerasi.