Ilustrasi lansia. Foto: Alexas_Fotos (Unsplash)

Ageism di Korea Selatan muncul sebagai persoalan sistemik yang bertentangan dengan tradisi Konfusianisme yang menekankan penghormatan kepada orang yang lebih tua. Dalam praktik ketenagakerjaan, kebijakan pensiun wajib, pemotongan gaji pada masa menjelang pensiun, serta lingkungan kerja yang tidak ramah mendorong pekerja berusia 40 tahun ke atas untuk berpindah ke pekerjaan yang lebih rentan. Kerangka hukum yang ada memberi ruang bagi perlakuan berbeda berbasis usia, sementara norma budaya dan bahasa di kantor memperkuat stereotip yang mendiskreditkan kontribusi pekerja yang menua.

Pensiun wajib pada usia 60 tahun berlaku luas di sektor publik dan swasta. Berdasarkan undang‑undang tentang pencegahan diskriminasi usia dan promosi ketenagakerjaan lanjut usia, pemberi kerja dapat menetapkan usia pensiun minimal 60 tahun tanpa perlu justifikasi individual, sehingga pekerja tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat kebijakan tersebut. Mekanisme ini berdampak pada profesional berpengalaman di lembaga pemerintah dan perusahaan besar yang terpaksa harus mengakhiri karier terlepas dari kinerja dan kompetensi mereka.

Ilustrasi tunjangan. Foto: Nick Pampoukidis (Unsplash)

Sistem upah puncak memperkuat dampak tersebut dengan menurunkan gaji pekerja beberapa tahun sebelum pensiun. Pemotongan pendapatan ini memengaruhi iuran pensiun, pesangon, dan manfaat pengangguran, sekaligus menekan kondisi psikologis pekerja. Di saat bersamaan, praktik rekrutmen dan promosi yang mempertimbangkan usia menciptakan hambatan tambahan di pasar kerja, sehingga pengalaman panjang tidak serta‑merta menjadi nilai tambah.

Skema penempatan kembali yang seharusnya membantu pekerja senior justru berujung pada segregasi pekerjaan. Pekerja yang lebih tua kerap dialihkan ke posisi berstatus rendah seperti penjaga keamanan atau perawatan, dengan tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja muda. Pola ini menegaskan diskriminasi struktural dan mempersempit kesempatan ekonomi bagi pekerja setelah memasuki usia tertentu.

Struktur hierarkis di kantor sering kali tidak sejalan dengan makna penghormatan. Sistem bahasa formal yang lazim digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua dapat dipergunakan secara selektif sesuai posisi jabatan. Situasi ketika manajer yang lebih muda berbicara dengan kalimat informal kepada bawahan yang lebih tua menurunkan martabat profesional dan menajamkan jarak antargenerasi di tempat kerja.

Istilah‑istilah bernuansa merendahkan terhadap pekerja senior juga muncul dalam interaksi profesional. Penyematan label yang memosisikan pekerja senior sebagai kaku atau tidak mau berubah menumbuhkan stereotip bahwa usia identik dengan ketertinggalan. Narasi ini memperlemah pengakuan terhadap keterampilan dan pengetahuan yang dibangun oleh pekerja senior sepanjang kariernya, serta menggeser tolok ukur kompetensi dari kemampuan nyata ke persepsi usia.

Ilustrasi pekerja senior. Foto: Vitaly Gariev (Unsplash)

Transformasi budaya turut dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, budaya yang otoritarian berbasis usia mendorong sebagian pekerja senior untuk mempertahankan wibawa melalui usia alih‑alih keterampilan, memicu tegangan dengan generasi muda. Lalu, polarisasi politik menempatkan kaum muda sebagai kaum progresif dan usia lanjut sebagai regresif, yang memudahkan generalisasi. Terakhir, penilaian terhadap penampilan fisik dan kesiapan mempelajari keterampilan baru menumbuhkan kesan bahwa pekerja senior kurang adaptif, walaupun pada kenyataannya setiap pekerja memiliki pandangan yang beragam.

Di luar kantor, pola eksklusi berbasis usia muncul dalam pembatasan akses di sejumlah tempat seperti fasilitas olah raga, kafe, dan ruang komersial. Penerapan batasan usia menandakan pergeseran ke arah segregasi generasi di ruang publik. Representasi lansia sebagai beban selama dan setelah masa pandemi memperkuat jarak sosial ini, sehingga interaksi antargenerasi berkurang dan rasa saling percaya menurun.

Rasa terasing di ruang publik muncul sejak usia paruh baya dan cenderung meningkat setelah pensiun. Ketika angka penuaan populasi bertambah, kontradiksi antara realitas demografis dan praktik eksklusi semakin mengemuka. Lansia mengambil porsi populasi yang besar, namun partisipasi sosial mereka menyusut akibat arsitektur sosial yang lebih mengutamakan preferensi kaum muda.

Perubahan kebijakan dapat diarahkan pada penghapusan pasal yang memungkinkan pensiun wajib dan penghentian sistem upah puncak. Pengetatan larangan diskriminasi usia di tempat kerja perlu memastikan bahwa setiap perlakuan berbeda berbasis usia memiliki tujuan yang jelas, proporsional, dan merupakan pilihan paling minim dampak. Prinsip ini menyelaraskan praktik ketenagakerjaan dengan standar hak asasi yang memposisikan usia sebagai kategori yang setara dengan dasar perlindungan lainnya.

Larangan eksplisit terhadap kondisi kerja yang kurang menguntungkan bagi pekerja senior diperlukan untuk mencegah segregasi di tempat kerja. Selain itu, undang‑undang anti‑diskriminasi yang komprehensif beserta perubahan konstitusi yang menambahkan usia sebagai kategori terlindungi dapat menyediakan landasan hukum yang lebih kokoh.

Ilustrasi kantor. Foto: Adolfo Félix (Unsplash)

Di ranah jaminan sosial, evaluasi program kerja ulang pascapensiun perlu memastikan akses setara atas peluang kerja lintas sektor. Peninjauan kecukupan manfaat pensiun agar mendekati upah layak juga penting, mengingat jeda waktu antara pensiun dan manfaat penuh dapat menempatkan pekerja pada risiko kerentanan ekonomi.

Ageism di Korea Selatan terbentuk melalui kombinasi kebijakan ketenagakerjaan, praktik bahasa dan budaya organisasi, serta eksklusi ruang publik. Dampak ekonomi dan psikologis berjalan beriringan, dimulai dari penurunan pendapatan menjelang pensiun hingga keterasingan sosial setelah berhenti bekerja. Reformasi hukum yang menutup celah diskriminasi dan penataan ulang program sosial menjadi kunci untuk memastikan partisipasi setara bagi warga yang menua.