Pada September 2025, Majelis Nasional Korea Selatan telah meloloskan Undang-Undang Ahli Tato. Ini menandai berakhirnya pembatasan praktik tato yang hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis. Aturan baru ini mengakui tato dan rias semi permanen sebagai praktik profesional berlisensi, dengan penerapan bertahap selama empat tahun.
Kebijakan ini mengakihiri pembatasan praktik tato selama 33 tahun, sekaligus mengubah lanskap industri yang selama ini bergerak di bawah tanah dan menutup era lama ketika tato identik dengan praktik ilegal.
Hukuman Tato pada Dinasti Goryeo dan Joseon
Stigma terhadap tato di Korea berakar pada praktik hukuman negara yang berlangsung selama berabad-abad. Pada era Dinasti Goryeo (918–1392), tato sebagai bentuk hukuman dikenal dengan istilah chajahyŏng (刺字刑), yang ditulis menggunakan teknik kyŏngmyŏn (黥面) dan chamyŏn (刺面) untuk menandai wajah atau lengan pelaku kejahatan.
Tulisan tentang tindakan kriminal dari pelaku diukir dengan tinta sehingga menjadi penanda permanen. Setelah Pemberontakan Myoch’ŏng berakhir, semua pihak yang terlibat dibuang ke pulau terpencil dan tulisan “Sogyŏng-yŏkchŏk” (pemberontak ibu kota barat) dituliskan pada dahi para pelaku. Praktik hukuman ini juga menjangkau pelanggaran ekonomi seperti pencurian atau penyembelihan lembu dan kuda, yang dianggap krusial bagi pertanian dan militer.

Dinasti Joseon (1392–1910) mewarisi dan menata ulang sistem tersebut melalui adopsi Taemyŏngnyul (Ming Code). Kosakata hukuman menjadi lebih rinci. Pencuri yang merampok gudang pemerintah ditandai dengan tulisan “Togwanjŏn” (盜官錢), perampasan di siang hari dicap “Ch’angt’al” (搶奪), sedangkan tulisan “Chŏldo” (竊盜) menandakan pelaku pencurian pertama. Penempatan tato pada pipi, wajah, dan lengan dimaksudkan untuk memaksimalkan aib publik. Sistem penandaan ini meluas dan juga digunakan untuk budak, termasuk tawanan perang dan kalangan rendah, sehingga tato berfungsi sebagai mekanisme pengucilan sosial yang bertahan lama dalam ingatan budaya.
Ekosistem Bawah Tanah: Gangnam dan Hongdae
Sebelum legalisasi, dua kawasan di Seoul menjadi pusat praktik tato yang tersembunyi. Gangnam menjadi salah satu kawasan dengan seniman mapan yang mengoperasikan studio tato dengan standar kebersihan tinggi dan peralatan profesional. Studio tersebut beroperasi tanpa papan nama dan hanya bergantung pada rekomendasi dari mulut ke mulut. Studio sering berpindah lokasi setiap beberapa tahun sekali untuk menghindari penindakan, namun tetap melayani klien domestik dan mancanegara.
Hongdae menjadi kawasan lainnya. Kawasan yang dikenal akan karakter seninya ini memunculkan jaringan studio kecil di lantai atas atau ruang bawah tanah gedung perkantoran. Seniman menyasar komunitas muda yang terbuka pada ekspresi kreatif. Konsentrasi pelaku menciptakan jejaring informal untuk berbagi pengetahuan teknis, standar kebersihan, dan cara bertahan di bawah pengawasan. Kedua kawasan ini memperlihatkan kontras, dengan model profesional di Gangnam yang menekankan layanan dan higienitas, serta ekosistem eksperimental di Hongdae yang menekankan aksesibilitas bagi komunitas seni.
Undang-Undang Ahli Tato 2025
Tattooist Act mendefinisikan semua tindakan tato, termasuk rias semi permanen, sebagai praktik yang wajib berlisensi. Calon praktisi harus lulus ujian nasional dan memegang lisensi resmi. Praktisi wajib untuk mengikuti pelatihan higienitas dan keselamatan secara berkala. Setiap prosedur harus dicatat secara rinci, mulai dari tanggal, jenis dan jumlah tinta, serta bagian tubuh yang ditato. Pelanggaran administratif dapat dikenai pidana hingga satu tahun penjara atau denda hingga 10 juta won. Pelanggaran kebersihan dikenai sanksi denda hingga 10 juta won.
Aturan baru juga mempertahankan batasan penting. Penghilangan tato dengan laser tetap menjadi ranah tenaga medis yang berlisensi. Tato pada anak di bawah umur dilarang tanpa persetujuan orang tua atau wali. Ketentuan ini menempatkan tato sebagai layanan profesional yang diatur, sekaligus membedakan dengan tindakan medis tertentu.
Namun, Asosiasi Medis Korea (KMA) menolak legalisasi dengan argumentasi bahwa tato adalah tindakan berisiko yang perlu berada di bawah pengawasan medis. KMA menyebut UU ini sebagai upaya yang membahayakan fondasi hukum kesehatan dan keselamatan publik. Sikap tersebut sejalan dengan posisi mereka dalam isu kebijakan kesehatan lain pada periode yang sama. Meskipun demikian, dukungan legislatif untuk legalisasi tato sangat besar dan UU tetap disahkan.
Masa Transisi dan Implementasi
UU mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan oleh presiden, diikuti dengan masa tenggang dua tahun yang memungkinkan praktisi yang sudah ada bekerja dengan registrasi sementara sambil menyelesaikan proses perizinan. Total empat tahun ****masa transisi ini memberi waktu bagi populasi pelaku nonmedis dalam jumlah besar untuk memenuhi standar baru. Ketentuan ini dirancang untuk mengintegrasikan industri yang sebelumnya berada di wilayah abu-abu ke dalam kerangka hukum dan pengawasan yang jelas.
Legalisasi mengubah status tato dari aktivitas yang berisiko hukum menjadi layanan berizin dengan standar kebersihan terdokumentasi. Bagi praktisi, lisensi resmi membuka akses pada model usaha formal dan kerja sama lintas sektor. Bagi konsumen, pencatatan prosedur, pelatihan higienitas, dan jalur pengawasan administratif memperjelas hak dan tanggung jawab dalam layanan tato. Di sisi lain, kewenangan medis yang tetap untuk penghilangan tato menandai batas tegas antara layanan tato profesional dan tindakan medis.
Perubahan regulasi pada 2025 menutup bab panjang keterkaitan tato dengan aib dan kriminalitas sembari menyusun landasan profesi berlisensi. Jejak historis dari masa Goryeo dan Joseon menjelaskan mengapa stigma tato bertahan begitu kuat. Dengan kerangka hukum baru, praktik tato di Korea Selatan memasuki fase pengaturan yang menekankan keselamatan, akuntabilitas, dan kejelasan peran antara layanan dan tindakan medis. Implementasi bertahap memberi waktu bagi pelaku industri untuk beradaptasi, sekaligus memberi konsumen kepastian standar layanan.