
Di Korea Utara, tari berkelompok atau “단체무용” berkembang sejak tahun 1940-an sebagai bagian dari kerangka budaya dan ideologi negara tersebut. Bentuk pertunjukan massal ini menggabungkan unsur tari tradisional Korea dengan prinsip seni sosialis. Kesenian ini memiliki fungsi ganda, yakni sebagai hiburan panggung dan sebagai sarana membangun kebersamaan sosial melalui koreografi yang rapi dan serempak.
Akar dan Perkembangan
Sejak masa awal terbentuknya negara Korea, tari berkelompok dipandang sebagai ekspresi kolektif. Unsur-unsur tradisi tari rakyat dipadukan dengan penataan panggung yang sistematis menghasilkan visual yang tertata rapi dan unik. Setiap bagian ditata agar gerak, musik, dan pola lantai bekerja sebagai satu kesatuan. Praktik ini menempatkan disiplin, keteraturan, dan pembagian peran yang jelas sebagai fondasi dari pertunjukan.
Tari Topeng Pongsan sebagai Model Kolektif
Tari topeng Pongsan dari Provinsi Hwanghae menempati posisi penting dalam khazanah pertunjukan kolektif Korea. Bentuk drama topeng ini tersusun dalam dua belas babak yang diiringi dengan pemeran ansambel, memainkan rangkaian terkoordinasi. Pada 1946, Kim Il-sung membentuk lembaga pelestarian Pongsan untuk memastikan keberlanjutan tradisi tersebut.
Pertunjukan ini menampilkan berbagai tokoh dari kelas sosial berbeda yang dimainkan oleh para penari bertopeng, mulai dari biksu, bangsawan, warga biasa, hingga tokoh satiris. Setiap peran menyumbang potongan naratif yang saling terhubung sepanjang struktur dua belas babak.
Pementasan didukung ansambel musik rakyat Samhyeon-yukgak yang menghidupkan aksi panggung melalui instrumen piri, jeotdae, janggo, dan buk. Koreografi kolektif terlihat jelas pada hubungan antara penari, pemusik, dan tim pendukung yang menjaga kesinambungan alur. Kritik sosial dan solidaritas komunitas tersampaikan lewat dialog gerak, interaksi antartokoh, dan perubahan tempo musikal.
Organisasi dan Formasi
Pengelompokan kelompok tari tradisional mengikuti prinsip keselarasan kolektif tanpa mengabaikan ketelitian teknik individu. Formasi umum menggunakan pola lingkaran dan garis untuk menciptakan simetri visual dan kesatuan ritme pada ruang pertunjukan. Penempatan penari diatur agar transisi antarbagian berlangsung mulus dan menjaga fokus penonton pada keseluruhan komposisi, bukan pada individu tertentu.
Dalam sejarah pertunjukan, pembagian peran juga mengikuti klasifikasi profesi seni. Gisaeng, gwangdae, jaein, dan anggota keluarga syaman membawa gerakan yang khas. Repertoar mereka lebih terasah dibandingkan kelompok rakyat nonprofesional, sehingga struktur ansambel sering memadukan sorotan solo yang singkat dengan segmen kelompok yang dominan. Hasilnya adalah pertunjukan yang menegaskan hierarki artistik tanpa melepaskan sifat kolektif.
Repertoar Gerak Dasar dan Pola Kolektif
Koreografi kontemporer dari kesenian ini memanfaatkan tujuh belas pola gerak dasar sebagai landasan penyusunan tari berkelompok. Di dalamnya terdapat pola jalan (geotgi), teknik lengan (palmegi, palppopgi, pal ppurichigi), langkah kaki (darideulgi, najge ttwigi), serta unsur rotasi (jjariro dolgi, doranagagi). Pemimpin kelompok menata formasi agar ragam gerak ini dapat terlihat jelas, ritmis, dan saling mengunci.
Variasi Regional dan Tradisi Ritual
Pengaruh tradisi daerah turut memberikan warna pada organisasi ansambel. Dari wilayah Gyeongsang, misalnya, muncul format berbasis penempatan karakter dari strata sosial berbeda dalam pertunjukan teatrikal terkoordinasi.
Komunitas wihara mengembangkan formasi seremoni yang menonjolkan simbolisme spiritual melalui jarak dan garis gerak yang presisi. Sedangkan di lingkungan praktisi syamanisme, susunan penampil mengikuti kebutuhan ritual, sehingga alur posisi dan aliran gerak ditentukan urutan prosesi yang panjang.
Pelestarian dan Panggung Modern
Tradisi yang dahulu hidup di ruang komunal terbuka kini juga tampil dalam produksi panggung formal. Berbagai lembaga pelestarian berusaha untuk menjaga kesinambungan dengan menyusun dokumentasi, pelatihan, dan pementasan berkala.
Pusat Musik Tradisional Namsan di Seoul pernah menyajikan pertunjukan kolaboratif yang mempertemukan kelompok pelestari topeng Pongsan, Eunnyul, Gangnyeong, dan Bukcheon dalam satu rangkaian. Kerangka kelembagaan ini memperlihatkan adaptasi tradisi ke konteks kontemporer, tanpa melepaskan karakter ansambel yang menjadi inti pertunjukan.
Tari berkelompok di Korea Utara memberi contoh bagaimana narasi, peran, dan musik tersusun sebagai satu sistem kolektif yang saling melengkapi.