Gerakan 4B di Korea Selatan merupakan inisiatif feminis yang berpusat pada empat konsep utama, yaitu penolakan terhadap pernikahan (bihon), penolakan terhadap kelahiran anak (bichulsan), penolakan terhadap kencan (biyeonae), dan penolakan terhadap hubungan seksual heteroseksual (bisekseu). Gerakan ini mulai mendapatkan momentum sekitar tahun 2015 atau 2016, sebagian karena frustrasi terhadap ketahanan sikap dan praktik patriarki dalam masyarakat Korea Selatan.
Gerakan 4B mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas dengan ketidaksetaraan gender, misogini, dan kurangnya kesempatan yang sama bagi wanita dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan dinamika keluarga. Estimasi menunjukkan bahwa gerakan ini melibatkan ribuan hingga puluhan ribu peserta, meskipun angka pastinya sulit ditentukan karena sifatnya yang terdesentralisasi dan dimulai secara digital.
Beberapa faktor pendorong di balik munculnya gerakan 4B antara lain adalah tingginya biaya hidup, prospek pekerjaan yang terbatas, jam kerja yang panjang, dan kekerasan berbasis gender yang merajalela, semua ini berkontribusi pada rasa ketidakpuasan dengan struktur sosial yang ada.
Asal Mula Gerakan 4B
Akar gerakan 4B dapat ditelusuri kembali ke publikasi novel Cho Nam-Joo “Kim Jiyoung, Lahir 1982,” yang menyoroti pengalaman sehari-hari seksisme dan misogini di Korea Selatan modern. Gerakan ini juga terhubung dengan inisiatif sebelumnya, khususnya kampanye “Escape the Corset,” yang mendorong wanita untuk memberontak terhadap standar kecantikan tradisional.
Gerakan “Escape the Corset” adalah gerakan feminis yang berasal dari Korea Selatan dan bertujuan untuk menantang standar kecantikan dan norma gender yang ketat di negara tersebut. Gerakan ini mendorong wanita untuk menolak praktik kecantikan tradisional, seperti memakai riasan dan mematuhi ideal kecantikan yang kaku, serta untuk merangkul penampilan alami mereka. Nama gerakan ini merupakan metafora untuk “korset” metaforis yang diharapkan wanita kenakan agar sesuai dengan harapan masyarakat.
Gerakan ini mendapatkan momentum pada tahun 2018, dengan wanita memposting foto dan video diri mereka di media sosial, menunjukkan potongan rambut mereka dan wajah tanpa riasan, serta menghancurkan kosmetik mereka sebagai cara menolak ide kecantikan yang tersebar secara mainstream.
Respons Pemerintah
Gerakan 4B di Korea Selatan telah memberikan dampak signifikan pada masyarakat Korea, terutama dalam menantang norma dan mempromosikan kesetaraan gender. Salah satu dampak paling signifikan dari gerakan 4B adalah pada tingkat fertilitas Korea Selatan, yang kini berada di bawah angka rata-rata. Penolakan gerakan terhadap peran gender tradisional telah menyebabkan banyak wanita memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak, berkontribusi pada krisis demografis di negara tersebut.
Pemerintah Korea Selatan telah merespon gerakan 4B dengan kombinasi kekhawatiran dan oposisi. Gerakan ini dilihat sebagai tantangan terhadap negara patriarki dan kebijakan pro-natalis di negara tersebut. Kebijakan pro-natalis pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat fertilitas negara, telah dipolitisasi oleh gerakan, yang melihatnya sebagai penguatan ketidaksetaraan gender dan ekspektasi patriarki.
Presiden Yoon Suk-Yeol telah kritis terhadap gerakan tersebut dan telah mengusulkan penutupan Kementerian Kesetaraan Gender, memicu reaksi balik dari feminis dan menyebabkan protes. Respons pemerintah telah memperburuk ketegangan, dengan penghapusan istilah seperti ‘kesetaraan gender’ dan ‘minoritas seksual’ dari buku pelajaran sekolah semakin memperparah situasi. Gerakan ini juga merupakan respons terhadap prevalensi tinggi kekerasan domestik dan seksual, distribusi yang tidak setara dari tugas pengasuhan anak dan domestik, dan standar kecantikan yang ada di Korea.
Gerakan 4B di Korea Selatan muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan gender dan norma patriarki. Meskipun menghadapi perlawanan dari konservatif dan pemerintah, yang bahkan mengusulkan penutupan Kementerian Kesetaraan Gender, gerakan ini tetap menjadi simbol perlawanan terhadap standar gender yang ketat dan mendorong diskusi serta aktivisme seputar kesetaraan gender. Dampaknya terhadap tingkat fertilitas negara dan kontribusinya terhadap krisis demografis menyoroti tantangan yang dihadapi dalam mengubah norma sosial.