Dangun Wanggeom: Legenda Pendiri Korea yang Mengakar dalam Sejarah

on in Culture

Dangun Wanggeom, atau dikenal juga sebagai Dangun, merupakan sosok legendaris yang dianggap sebagai pendiri dari Gojoseon, kerajaan pertama Korea. Berdasarkan legenda, Dangun mendirikan kerajaan ini pada 2333 SM, dan asal-usul mitologisnya sebagai cucu dari langit dan anak dari seorang wanita beruang membuatnya menjadi tokoh penting dalam identitas budaya dan sejarah Korea. Kisah Dangun melambangkan awal mula budaya Zaman Perunggu di Korea serta mencerminkan kepercayaan syamanistik yang menjadi bagian penting dari masyarakat Korea pada masa itu.

Asal-usul Dangun berasal dari cerita mitologi Korea yang unik, yaitu tentang intervensi ilahi dan perubahan wujud hewan menjadi manusia. Legenda menyebutkan bahwa Dangun adalah putra dari Hwanung, anak dari penguasa surga Hwanin, dan Ungnyeo, seorang wanita yang awalnya merupakan seekor beruang. Kisah ini dimulai ketika Hwanung turun ke bumi bersama 3.000 pengikutnya dan membangun kota suci di Gunung Taebaek, yang kini dikenal sebagai Gunung Paektu. Hwanung membawa serta tiga pejabat yang memiliki kuasa atas angin, hujan, dan awan, yang kemudian menjadi penasihat dalam membangun hukum dan kode moral bagi kerajaan baru ini.

Dalam legenda tersebut, seekor harimau dan seekor beruang memohon kepada Hwanung agar diubah menjadi manusia. Hwanung memberikan mereka tantangan untuk tinggal di dalam gua selama 100 hari dan hanya memakan bawang putih serta mugwort. Harimau menyerah, namun beruang berhasil bertahan dan akhirnya diubah menjadi seorang wanita. Wanita beruang tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Ungnyeo, menikah dengan Hwanung dan melahirkan Dangun Wanggeom.

Lukisan Dangun oleh Chae Yong-sin (1850-1941)

Mitos ini menggambarkan penciptaan manusia dari hewan sebagai simbol dari masuknya budaya Zaman Perunggu di Korea. Selain itu, Dangun sering dianggap sebagai Syaman Agung pertama yang menghubungkan dunia roh dengan umat manusia. Kisah ini penuh dengan unsur-unsur syamanisme dan totemisme, yang mencerminkan kepercayaan masyarakat Korea saat itu.

Gojoseon dianggap sebagai kerajaan pertama di semenanjung Korea, dan kisah pendiriannya sangat berkaitan dengan sosok legendaris Dangun. Berdasarkan Samguk Yusa dari abad ke-13, teks tertua yang mencatat peristiwa ini, Dangun mendirikan Gojoseon di Pyongyang pada tahun 2333 SM. Tahun legendaris ini menandai awal dari sejarah Korea.

Secara historis, para ahli memperdebatkan akurasi dari legenda ini. Berdasarkan bukti arkeologis, kemungkinan besar Gojoseon sebagai sebuah masyarakat mulai terbentuk sekitar abad ke-4 atau ke-3 SM, berbeda jauh dari legenda. Masa ini bertepatan dengan meluasnya penggunaan teknologi perunggu serta munculnya struktur sosial yang lebih kompleks di wilayah tersebut. Proses pembentukan Gojoseon lebih mungkin merupakan proses bertahap dari spesialisasi sosial serta konsolidasi politik, dan bukan peristiwa tunggal seperti yang digambarkan dalam legenda.

Pusat geografis Gojoseon juga menjadi topik perdebatan. Beberapa ahli meyakini bahwa pusat kerajaan ini berada di wilayah Liaodong di Tiongkok masa kini, sementara yang lain berpendapat bahwa letaknya lebih ke selatan, di bagian barat laut semenanjung Korea. Meskipun batas wilayah pasti dari Gojoseon masih diperdebatkan, secara umum diyakini bahwa kerajaan ini mencakup sebagian Manchuria selatan dan semenanjung Korea bagian utara.

Seiring dengan perkembangan penelitian sejarah, Gojoseon dipandang sebagai konfederasi dari kelompok-kelompok regional, dengan Joseon sebagai pusatnya. Sistem aliansi yang berkembang pada abad ke-4 SM menunjukkan bahwa Gojoseon sudah memiliki struktur politik yang lebih maju, dengan pemimpin yang disebut “Joseon Huguk” yang berperan sebagai kepala aliansi.

Legenda Dangun tidak hanya sebatas mitologi saja, tetapi juga berperan penting dalam pembentukan identitas nasional Korea. Pengaruhnya mulai semakin menonjol selama periode sejarah tertentu, terutama saat Korea menghadapi ancaman eksternal. Pada akhir Dinasti Goryeo, ketika Korea berjuang melawan Dinasti Yuan dari Mongolia, kisah Dangun kembali menarik perhatian. Puncaknya terjadi pada masa Dinasti Joseon, ketika Dangun dan tokoh-tokoh pendiri legendaris lainnya dipuja sebagai leluhur bangsa.

Pada abad ke-19, ketika Korea menghadapi invasi imperialisme, legenda Dangun ditekankan sebagai simbol persatuan nasional untuk melawan agresi asing. Munculnya agama Dangunkyo, yang berpusat pada pemujaan Dangun, memperkuat posisinya sebagai landasan spiritual bagi gerakan nasionalisme Korea. Selama masa penjajahan Jepang, Dangun memainkan peran penting dalam dasar spiritual gerakan kemerdekaan. Konsep bahwa rakyat Korea adalah “keturunan Dangun” menjadi seruan untuk mempersatukan bangsa dalam menghadapi penjajah.

Mausoleum of Tangun, Kangdong, Korea Utara. Foto: Laika ac from USA (Wikipedia)

Di Korea modern, legenda Dangun terus digunakan sebagai alat untuk memperkuat persatuan nasional. Awalnya, Korea Selatan menggunakan sistem perhitungan era resmi bernama Dangi. Sistem perhitungan ini digunakan sejak tahun 2333 SM hingga tahun 1961. Setiap tanggal 3 Oktober Korea Selatan merayakan Gaecheonjeol, atau Hari Pendiri Nasional, untuk memperingati pendirian legendaris ini. Sedangkan di Korea Utara, klaim penemuan makam Dangun pada tahun 1993 digunakan untuk mendukung legitimasi rezim yang berkuasa.

Konsep nasionalisme etnis Korea juga dipengaruhi oleh legenda Dangun. Ide bahwa seluruh rakyat Korea adalah keturunan Dangun menciptakan rasa kesatuan etnis yang kuat, yang membedakan konsep nasionalisme Korea dari konsep-konsep kebangsaan di dunia Barat. Namun, penekanan pada nasionalisme etnis ini juga memiliki implikasi yang kompleks bagi masyarakat Korea modern, terutama dalam menghadapi isu multikulturalisme.

Legenda Dangun terus memiliki pengaruh besar terhadap budaya Korea hingga saat ini. Pengaruhnya terlihat dalam berbagai aspek masyarakat Korea, mulai dari perayaan nasional hingga budaya populer. Perayaan Gaecheonjeol, yang memperingati pendirian Gojoseon oleh Dangun, menjadi salah satu manifestasi paling jelas dari dampak budaya ini. Setiap tahun, masyarakat Korea memperingati hari ini sebagai pengingat akan asal-usul mereka dan untuk memperkuat rasa persatuan di antara sesama rakyat Korea.

Selain itu, agama seperti Daejongism yang memuja Dangun terus memiliki pengikut di Korea. Agama ini memadukan unsur-unsur syamanisme tradisional Korea dengan praktik-praktik religius yang lebih terstruktur, menunjukkan bagaimana legenda Dangun beradaptasi dengan kebutuhan spiritual modern.

Dalam budaya populer, legenda Dangun sering dijadikan latar belakang dalam berbagai film, acara televisi, dan buku Korea. Referensi ini membantu mempertahankan relevansi legenda Dangun di kalangan generasi muda Korea. Sistem pendidikan di Korea Selatan juga memainkan peran penting dalam melestarikan pengaruh budaya Dangun. Kisah ini diajarkan di sekolah sebagai bagian dari kurikulum sejarah dan budaya Korea.

Gojoseon Dangun-Wanggeom Statue. Foto: YunHo LEE (Flickr)

Legenda Dangun Wanggeom tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan budaya Korea. Meskipun kebenaran historisnya masih menjadi perdebatan, pengaruhnya dalam membentuk identitas nasional Korea tidak dapat dipungkiri. Dangun telah menjadi simbol persatuan, ketahanan, dan warisan budaya yang telah bertahan selama lebih dari 4.000 tahun. Peringatan Gaecheonjeol setiap 3 Oktober menunjukkan betapa pentingnya legenda ini bagi masyarakat Korea, baik di Korea Selatan maupun Korea Utara.