
Novel “Human Acts” karya Han Kang mengeksplorasi lebih dalam tentang dampak kekerasan negara terhadap individu melalui narasi-narasi yang saling terkait, membentang melalui beberapa dekade. Berpusat pada Peristiwa Gwangju 1980, karya ini tidak hanya menjadi catatan sejarah saja, tetapi juga mengungkapkan efek trauma yang meluas dalam masyarakat.
Dengan pendekatan sastra yang unik, Han Kang menciptakan potret kemanusiaan yang menyentuh, mencerminkan kekejaman, ketahanan, dan dampak mendalam dari tragedi tersebut. Novel ini menjadi pengingat abadi akan bagaimana kekerasan dapat membentuk dan mengubah hidup manusia, baik secara personal maupun kolektif.
Peristiwa Gwangju dan Dampaknya
Peristiwa Gwangju merupakan titik balik penting dalam sejarah Korea Selatan. Aksi yang bermula pada 18 Mei 1980 ini muncul sebagai reaksi terhadap perpanjangan darurat militer oleh rezim Chun Doo-hwan. Tindakan brutal pemerintah, termasuk penembakan terhadap warga sipil tak bersenjata, menyebabkan hilangnya ratusan korban jiwa. Meskipun sempat mendapatkan tekanan, aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap rezim otoriter, yang juga mempercepat proses demokratisasi Korea Selatan pada akhir 1980-an. Aksi ini juga memberikan pengaruh pada gerakan pro-demokrasi di negara-negara lainnya.
Selain menjadi tonggak penting dalam sejarah politik, aksi di Gwangju juga membawa perubahan signifikan dalam kesadaran sosial masyarakat Korea Selatan. Tekanan publik menjadi katalis untuk reformasi demokrasi, termasuk terpilihnya Kim Dae-jung sebagai presiden pada 1997.
Peringatan peristiwa ini juga diabadikan melalui penetapan tanggal 18 Mei sebagai hari peringatan nasional, serta pendirian museum dan pemakaman nasional di Gwangju. Namun, dampak psikologisnya terhadap para penyintas dan masyarakat tetap menjadi luka yang sulit untuk disembuhkan. Para korban dan keluarga mereka menghadapi beban emosional dan stigma sosial yang sering kali tidak terlihat, tetapi tetap nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Peristiwa Gwangju juga membawa pengaruh pada generasi muda Korea Selatan. Banyak dari mereka yang terinspirasi untuk lebih aktif dalam perjuangan demokrasi, menjadikan peristiwa ini sebagai momentum penting dalam membangun kesadaran kolektif. Generasi yang lebih muda mempelajari sejarah ini sebagai bagian dari identitas nasional mereka, memastikan bahwa tragedi ini tidak dilupakan dan pelajarannya dapat tetap diturunkan ke generasi berikutnya.
Narasi dan Perspektif dalam Novel “Human Acts”
Han Kang menggunakan struktur narasi yang kaya dan kompleks dalam “Human Acts,” menghadirkan berbagai sudut pandang untuk menggambarkan tragedi Gwangju dan dampaknya. Novel ini terdiri dari enam bab, masing-masing mengusung perspektif berbeda dengan teknik narasi yang beragam. Dalam bab pembuka, “The Boy, 1980,” pembaca diperkenalkan pada Dong-ho, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun yang terjebak dalam kerusuhan tersebut. Dengan gaya narasi orang kedua, Han Kang menciptakan kedekatan emosional yang mendalam antara pembaca dan karakter.
Seiring berjalannya cerita, narasi berganti-ganti antara sudut pandang orang pertama dan ketiga, memberikan keseimbangan antara pandangan intim dan pengamatan yang objektif. Salah satu elemen yang menonjol adalah penggunaan suara tanpa tubuh, seperti narasi dari sudut pandang mayat seorang warga sipil, menambahkan nuansa surealis yang menguatkan elemen emosional. Pendekatan ini memungkinkan pembaca untuk mengeksplorasi dampak jangka panjang peristiwa tersebut, termasuk trauma psikologis pada para penyintas dan warisan kolektifnya dalam memori masyarakat.
Selain itu, novel ini secara cermat menggambarkan bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang menghadapi tragedi ini. Beberapa karakter mencoba melawan, sementara yang lain memilih untuk bertahan hidup dalam diam. Perbedaan perspektif ini memperkaya narasi, menjadikan pembaca memahami dimensi yang lebih luas dari peristiwa Gwangju.
Han Kang juga menyoroti tema-tema universal seperti sifat dasar manusia, kekerasan, dan ketahanan. Dengan menyajikan berbagai pengalaman dan reaksi terhadap satu peristiwa sejarah, ia mengajak pembaca untuk merenungkan sisi gelap dan terang kemanusiaan. Narasi yang beragam ini tidak hanya memberikan gambaran mendalam tentang peristiwa Gwangju saja, tetapi juga menjadi refleksi tentang bagaimana manusia menghadapi penindasan dan kekerasan.
Narasi dalam “Human Acts” juga berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman personal dan memori kolektif. Han Kang berhasil menciptakan koneksi emosional yang kuat antara pembaca dan para tokoh, menjadikan pengalaman ini lebih dari sekadar catatan sejarah. Novel ini mengingatkan bahwa suara dari setiap individu memiliki kontribusi penting dalam memahami peristiwa besar seperti Gwangju.
Kekerasan Negara dalam Perspektif Sastra
“Human Acts” adalah kritik tajam terhadap kekerasan negara, menggambarkan bagaimana kekejaman yang dilakukan oleh rezim militer Korea Selatan berdampak tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis dan sosial. Han Kang mengungkapkan bahwa kekerasan ini juga mencakup manipulasi narasi publik. Setelah peristiwa Gwangju, rezim Chun Doo-hwan berupaya menggambarkan protes tersebut sebagai pemberontakan yang dipicu oleh oposisi politik. Narasi ini digunakan untuk membenarkan penangkapan dan penuntutan ratusan demonstran, menciptakan stigma sosial yang bertahan lama.
Para penyintas tidak hanya menghadapi trauma individu tetapi juga perubahan dalam hubungan sosial dan kepercayaan terhadap institusi politik. Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman langsung maupun tidak langsung dari peristiwa seperti Gwangju dapat membentuk sikap masyarakat terhadap pemerintah selama bertahun-tahun, bahkan memengaruhi generasi berikutnya. Han Kang menggambarkan ini melalui cerita-cerita individu yang, meskipun terfragmentasi, membentuk gambaran utuh tentang trauma kolektif.
Dengan menyoroti kekerasan negara, “Human Acts” juga berfungsi sebagai pengingat akan bahaya penyalahgunaan kekuasaan dan pentingnya melawan narasi yang menindas. Fokus pada cerita personal menjadikan konsep kekerasan negara lebih nyata dan emosional bagi pembaca, memperkuat pesan tentang pentingnya ingatan kolektif dan keberanian dalam menghadapi penindasan. Novel ini menggambarkan bahwa melawan narasi yang sering kali menutupi kebenaran merupakan langkah penting dalam memahami sejarah dan memastikan keadilan bagi para korban.

Han Kang juga menyoroti bagaimana kekerasan negara dapat memengaruhi hubungan antarindividu. Trauma yang ditinggalkan oleh kekerasan tersebut sering kali menciptakan jarak emosional baik antara para korban dan pelaku maupun di antara anggota masyarakat yang menyaksikan atau mendengar tragedi tersebut. Novel ini mengajarkan pentingnya empati dan keberanian untuk mendobrak siklus kebisuan.
Tanggapan Pembaca
“Human Acts” menerima banyak pujian dari kritikus dan pembaca atas eksplorasinya yang mendalam tentang duka, kekerasan, dan kemanusiaan. Karya ini dipandang sebagai salah satu kontribusi sastra yang penting dalam memahami sejarah modern Korea Selatan. Beberapa kritikus mengatakan bahwa novel ini berhasil menyampaikan trauma dengan kedalaman emosional tanpa terlalu terjebak pada deskripsi kekerasan yang berlebihan.
Meskipun beberapa pembaca merasa kesulitan menghadapi intensitas emosional novel ini, banyak pula yang menghargai kejujurannya. “Human Acts” dianggap sebagai karya yang mendesak pembaca untuk menjadi saksi atas penderitaan para korban, tanpa berpaling. Selain itu, tema-tema universal seperti martabat manusia dan perjuangan untuk bertahan hidup, membuat novel ini relevan bagi pembaca global. Selain mengingatkan tentang pentingnya memahami sejarah, novel ini juga mengajukan pertanyaan mendalam tentang kemanusiaan dan moralitas di tengah kekerasan.
Pembaca juga dapat melihat bagaimana Han Kang berhasil menjadikan cerita yang kompleks ini tetap dapat diakses dengan mudah. Dengan bahasa yang kuat namun penuh sensitivitas, Han Kang memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna di balik peristiwa tersebut. Meskipun mengambil latar belakang dari peristiwa sejarah yang spesifik, novel ini mengundang refleksi universal tentang bagaimana manusia berjuang untuk mencari makna dan harapan di tengah tragedi.
Selain itu, karya ini menginspirasi diskusi mendalam di kalangan akademisi, kritikus, dan pembaca umum. Banyak yang melihat “Human Acts” sebagai alat untuk memahami tidak hanya sejarah Korea Selatan, tetapi juga dinamika kekuasaan, penindasan, dan perjuangan manusia di berbagai konteks global.
“Human Acts” bukan sekadar novel sejarah saja, karya ini adalah refleksi mendalam tentang kekerasan, trauma, dan ketahanan manusia. Melalui narasi yang kompleks dan perspektif yang beragam, Han Kang menghidupkan kembali peristiwa Gwangju, menghubungkannya dengan tema-tema universal yang relevan hingga hari ini. Novel ini mengingatkan bahwa meskipun kekerasan negara dapat meninggalkan luka mendalam, keberanian untuk mengingat dan merenungkan sejarah adalah langkah penting dalam membangun masa depan yang lebih adil.