Depok, 28 November 2025 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) melalui Korea–Indonesia Connection (KIC) sukses menyelenggarakan acara diskusi akademik bertajuk “Bridging Nations through Words: The Cia-Cia Story and Korea’s Cultural Diplomacy”. Kegiatan ini menghadirkan akademisi, peneliti, jurnalis, dan mahasiswa untuk mengeksplorasi fenomena penggunaan aksara hangeul dalam penulisan bahasa Cia-Cia di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Fenomena ini telah menarik perhatian publik baik di Indonesia maupun Korea Selatan.
Acara dibuka oleh Prof. Semiarto Aji Purwanto, Dekan FISIP UI, yang menekankan pentingnya melihat fenomena Cia-Cia bukan hanya sebagai isu linguistik, tetapi juga sebagai ruang pertemuan budaya, diplomasi, dan media. Menurutnya, masyarakat Cia-Cia memiliki sejarah sistem penulisan yang panjang, di mana mereka mengadaptasi sistem aksara Bugis, Arab, hingga penggunaan alfabet Latin. Sehingga, adopsi aksara hangeul menjadi dinamika sosial yang menarik untuk ditelaah lebih jauh.
“Kita perlu melihat ini sebagai proses panjang translasi budaya. Bagaimana sebuah komunitas yang telah mengenal berbagai sistem tulisan akhirnya mengekspresikan bahasanya melalui hangeul adalah pertanyaan antropologis yang sangat relevan. Saya mengapresiasi KIC dan Korea Foundation yang terus membuka ruang dialog semacam ini,” ujar Prof. Semiarto Aji.
Sementara itu, Lee Sang Hoon, Direktur Korea Jakarta Office, menyampaikan apresiasinya terhadap kolaborasi akademik yang memperkuat hubungan masyarakat Indonesia dan Korea. Ia menyoroti ketertarikannya pada alasan mengapa sebuah komunitas lokal di Indonesia memilih aksara hangeul untuk mengekspresikan identitas bahasa mereka.
“Sebagai orang Korea, Hangeul memiliki makna historis dan emosional. Melihat bagaimana aksara ini digunakan di luar Korea, khususnya di Indonesia, menunjukkan kedalaman hubungan budaya yang tidak terduga. Ini adalah contoh bagaimana komunitas dapat saling terhubung melalui inisiatif yang unik,” jelasnya.
Diskusi dipandu oleh Dr. Phil. Geger Riyanto, Dosen Antropologi FISIP UI, yang menekankan pentingnya memahami bagaimana adaptasi hangeul memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Cia-Cia. Ia juga menyoroti dinamika migrasi, variasi dialek, dan isu pengajaran bahasa lokal yang memberi konteks lebih luas terhadap fenomena ini.
Acara menghadirkan dua pembicara utama, yaitu Darynaufal Mulyaman, S.S., M.Si. (Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, penulis riset terkait education aid Korea Selatan untuk pelestarian bahasa Cia-Cia, dan Nicky Aulia Widadio selaku Jurnalis BBC Indonesia dan penulis liputan terkait penggunaan aksara Korea untuk pelestarian bahasa Cia-Cia.
Dalam paparannya, Nicky Widadio membahas bagaimana media nasional maupun internasional memberitakan penggunaan hangeul di Bau-Bau. Ia menjelaskan dinamika sosial yang berlangsung, mulai dari kebanggaan masyarakat lokal hingga tantangan implementasinya di lapangan.
Nicky menegaskan bahwa penggunaan hangeul masih terbatas pada beberapa sekolah dan belum sepenuhnya berfungsi dalam komunikasi sehari-hari. “Adaptasi ini membawa kebanggaan tersendiri bagi masyarakat, tetapi pelaksanaannya membutuhkan kesinambungan kebijakan, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang kuat,” jelasnya.
Pembicara kedua, Darynaufal Mulyaman, memaparkan temuan penelitiannya mengenai program kerja sama antara Pemerintah Kota Seoul dan Pemerintah Kota Bau-Bau yang melatarbelakangi inisiatif adopsi hangeul pada tahun 2008–2009. Ia menggarisbawahi aspek diplomasi antar-kota (paradiplomacy), soft power Korea Selatan, serta peran LSM dan komunitas lokal dalam mempertahankan inisiatif pasca berhentinya dukungan resmi pemerintah.
“Dari penelitian saya, penerimaan masyarakat Cia-Cia terhadap hangeul terjadi secara sukarela. Namun, kesinambungan program sangat bergantung pada dukungan pemerintah daerah, mekanisme kebijakan yang jelas, dan keberlanjutan pengajaran bahasa,” ungkap Darynaufal.
Diskusi juga diwarnai dengan pertanyaan dari mahasiswa FISIP UI dan peserta internasional mengenai potensi dampak diplomasi budaya, ancaman terhadap industri lokal, serta kemungkinan pelestarian bahasa daerah melalui kolaborasi internasional. Para pembicara menekankan bahwa pelestarian bahasa lokal memerlukan pendekatan jangka panjang, kerja sama antara akademisi, pemerintah, media, serta komunitas itu sendiri. Moderator Dr. Geger Riyanto menutup sesi dengan penekanan pada pentingnya perspektif antropologis dalam melihat identitas, kebijakan bahasa, dan hubungan antarbudaya, serta mengapresiasi seluruh temuan empiris yang memperkaya diskusi.
Acara ini menjadi ruang penting dalam memperkuat dialog akademik antara Indonesia dan Korea Selatan, serta menunjukkan bagaimana hubungan budaya kedua negara terus berkembang melalui pendidikan, media, dan riset. “Melalui dialog ini, kami ingin melihat dari berbagai perspektif mengenai fenomena Cia-Cia dan Hangeul bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi menjadi kekuatan yang menyambungkan sejarah dan membuka ruang kolaborasi baru antara Indonesia dan Korea” ucap Dr. Getar Hati, Program Director KIC FISIP UI.