Sejarah Adopsi Internasional Anak-Anak Korea Selatan

on in History
Holt International, agen adopsi ternama. Foto: Holt International

Adopsi internasional anak-anak dari Korea Selatan adalah fenomena yang memiliki sejarah panjang dan kompleks. Dimulai setelah berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, praktik ini telah memengaruhi hidup dari ribuan anak dan keluarga di seluruh dunia.

Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik di Korea Selatan memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan dan tren adopsi. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang sejarah adopsi internasional anak-anak Korea Selatan, mengeksplorasi konteks sejarahnya, tren dan statistik adopsi, perubahan kebijakan, serta faktor sosial dan budaya yang memengaruhi praktik ini.

Praktik adopsi internasional anak-anak Korea Selatan dimulai setelah Perang Korea berakhir pada tahun 1953. Perang ini meninggalkan banyak anak yatim piatu dan terlantar, banyak di antaranya adalah anak-anak ras campuran yang lahir dari ibu Korea dan tentara asing. Anak-anak ini menghadapi stigma sosial yang signifikan di Korea. Pada tahun 1955, Harry dan Bertha Holt, pasangan asal Amerika, mengadopsi delapan anak Korea, yang kemudian mendirikan Holt International Children’s Services, sebuah agen adopsi ternama.

Pemerintah Korea Selatan aktif mempromosikan adopsi internasional sebagai solusi untuk mengatasi kelebihan populasi dan tantangan ekonomi pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Undang-undang adopsi tahun 1961 memfasilitasi proses ini. Angka jumlah adopsi memuncak pada tahun 1980-an, dengan lebih dari 65.000 anak dikirim ke luar negeri antara tahun 1980 dan 1989.

Selama periode ini, Korea Selatan mengalami ketidakstabilan ekonomi dan politik yang mendalam, yang menjadikan adopsi internasional dianggap sebagai solusi yang tepat untuk berbagai masalah sosial, termasuk kelebihan populasi, kemiskinan, dan penelantaran anak. Industrialisasi dan urbanisasi yang cepat di Korea Selatan pada tahun 1960-an dan 1970-an menyebabkan peningkatan angka perceraian dan kehamilan remaja. Banyak anak yang lahir pada masa ini berasal dari ibu tunggal dari latar belakang ekonomi rendah.

Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, adopsi asing menjadi kebijakan sosial utama untuk anak-anak yatim piatu. Banyak keluarga miskin yang tidak bisa memberi makan atau mendidik anak-anak mereka memilih untuk menempatkan anak mereka di panti asuhan, dengan harapan mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dengan keluarga di negara Barat. Untuk mengurangi jumlah adopsi ke luar negeri, pemerintah Korea Selatan memperkenalkan sistem kuota pada tahun 1987, mengurangi jumlah anak yang diizinkan untuk diadopsi ke luar negeri sebesar 3 hingga 5% setiap tahun. Olimpiade Seoul tahun 1988 menarik perhatian internasional terhadap praktik adopsi Korea, yang memicu perubahan kebijakan.

Awalnya, sebagian besar anak-anak yang diadopsi secara internasional adalah ras campuran, lahir dari wanita Korea dan tentara asing. Namun, mulai tahun 1960-an, anak-anak “darah murni” Korea menjadi mayoritas dari mereka yang diadopsi ke luar negeri. Jumlah adopsi memuncak pada tahun 1980-an, dengan lebih dari 66.000 anak dikirim ke luar negeri antara tahun 1980 dan 1989. Sistem kuota yang diperkenalkan pada tahun 1987 bertujuan untuk mengurangi jumlah anak yang diadopsi ke luar negeri setiap tahunnya.

Dari tahun 1953 hingga 2008, sekitar 162.665 anak Korea diadopsi secara internasional. Amerika Serikat menjadi tujuan utama, diikuti oleh negara-negara di Eropa dan Australia. Sejak akhir 1990-an, jumlah adopsi internasional menurun drastis akibat berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintah yang bertujuan mengurangi adopsi ke luar negeri.

Adopsi di Korea masih menghadapi stigma yang signifikan, terutama terhadap anak-anak yang lahir dari ibu yang belum menikah. Banyak keluarga adopsi menyembunyikan status adopsi untuk menghindari pengasingan sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, para adoptee dan ibu tunggal telah mengadvokasi untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan yang lebih baik di masyarakat Korea. Ini termasuk upaya untuk memperbaiki sistem kesejahteraan sosial dan mengurangi ketergantungan pada adopsi internasional.

Laporan telah menyoroti adanya praktik ilegal dalam proses adopsi, seperti memalsukan latar belakang anak-anak dan memaksa ibu tunggal untuk menyerahkan bayi mereka. Banyak adoptee menghadapi tantangan terkait identitas dan rasa memiliki, baik di negara adopsi mereka maupun saat kembali ke Korea. Saat ini, berbagai upaya tengah dilakukan untuk mengatasi masalah ini sekaligus memberikan dukungan yang lebih baik bagi para adoptee.

Praktik adopsi ini mendapatkan sorotan di dunia internasional bertepatan dengan diadakannya Olimpiade Internasional Seoul tahun 1988. Jurnalis menyoroti fakta bahwa ekspor terbesar dari Korea saat itu tampaknya adalah anak untuk adopsi. Berita ini tentunya mempermalukan pemerintah Korea Selatan, yang kemudian melakukan perubahan kebijakan adopsi.

Kritikus dari program adopsi Korea Selatan menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah pada adopsi internasional menghambat perkembangan program kesejahteraan sosial untuk keluarga yang rentan dan anak-anak yang ditelantarkan atau yatim piatu.

Adopsi internasional dari Korea Selatan digunakan sebagai solusi untuk kelebihan populasi dan masalah sosial ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah dan sikap sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk lanskap adopsi, yang menyebabkan puncak adopsi ke luar negeri selama tahun 1980-an.

Sejarah adopsi internasional anak-anak Korea Selatan mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks dalam beberapa dekade terakhir. Sejarah ini juga memberikan pelajaran berharga tentang dampak kebijakan sosial dan perlunya perubahan yang mendukung kesejahteraan anak secara menyeluruh.