Pameran Seni Media dan Instalasi Korea Indonesia ke-5 yang bertajuk Nomadic Traveler yang akan berlangsung pada 8-17 September 2017 ini mengajak penonton untuk menjelajahi ruang dan waktu perjalanan manusia dalam realitas seni rupa kontemporer. Kecenderungan manusia untuk berpindah tempat telah menjadi wacana dalam karya-karya seni rupa kontemporer, termasuk seni media dan instalasi. Motif perpindahan yang beragam dapat disimak dalam banyak karya seni. Ada seniman yang membicarakan pengalaman ketrputusan diaspora dari tanah kelahirannya, ada pula yang meninggalkan rumahnya untuk kepentingan karir atau sebagai rutinitas sehari-hari.
Perpindahan tempat telah menjadi tradisi manusia sejak sebelum istilah globalisasi diperkenalkan kepada publik dan kini menjadi fenomena universal. Nomadic Traveler menampilkan ide akan ‘pengembaraan’ dan ‘perpindahan’ dalam ranah seni rupa kontemporer di Korea dan Indonesia. Topik pengembaraan dapat ditemukan pada sejumlah seniman kontemporer dari kedua negara dalam konteks perpindahan batas teritorial maupun perbedaan budaya. Mereka juga menempuh beragam metode kreatif dalam eksperimentasi teknik dan media. Dengan bantuan teknologi digital, mereka juga menjangkau perpindahan virtual.
Delapan seniman Korea dan Indonesia yang diundang untuk pameran ini memiliki karya yang tidak hanya terbatas pada perjalanan manusia dalam konteks kultural yang spesifik, namun juga mencakup perpindahan materi, wacana, dan informasi di dalam masyarakat. Melalui lukisan, patung, video, foto dan proyeksi waktu sebenarnya, pameran ini menjadi perpanjangan yang menyenangkan dari perjalanan artistik yang juga merefleksikan aspek kehidupan nomadik dalam semua orang.
FX Harsono merupakan seniman Indonesia yang menampilkan gelombang perjalanan orang-orang Tionghoa ke daratan Indonesia pada masa-masa yang berbeda di waktu lampau. Karya instalasi ini dibuat untuk mengingatkan kita akan pertingnya memori sebagai alternatif terhadap narasi sejarah dominan.
Video partisipatif karya Julia Sarisetiati menjadi landasan untuk pertukaran pengetahuan di antara buruh migran Indonesia di Korea guna mengajarkan kosakata sehari-hari yang bermanfaat dalam pekerjaan di pabrik.
Zico Albaiquni, seniman yang berbasis di Bandung, mendiskusikan eksploitasi lahan atas nama kampanye turisme lokal. Dengan mengambil contoh kasus penjualan lahan makam keramat di Garut, karya instalasi lukisan ini menjadi refleksi akan dampak turisme secara sosial dan kultural.
Venzha Christ, seniman yang berbasis di Yogyakarta memiliki ketertarikan pada tema sains fiksi sejak kecil. la menciptakan serangkaian radio astronomi untuk menghubungkan bumi dengan ruang angkasa, yang merupakan sebuah langkah artistik dalam agenda perjalanan eksplorasi manusia ke luar planet bumi.
Lee Wan, seniman pengembaradari Korea, melakukan perjalanan lintas negara untuk mempelajari dan memproduksi benda sehari-hari. Melalui usahanya yang sepele dan memakan waktu, ia hendak memvisualisasikan sistem neo-imperialisme raksasa di balik produk yang kita jumpai setiap harinya.
Alih-alih melakukan perjalanan fisik, Moon Hyungmin mengirimkan citraan produk Korea secara virtual untuk clireproduksi oleh artisan setempat di Indonesia dengan menggunakan bahan dan metode produksi lokal. Moon menantang ide akan orisinalitas dalam seni rupadengan mengapropriasi budaya lokal yang asing.
Lee Hansu memandang kebudayaan modern yang hibrid secara kritis melalui karyanya yang bertemakan sains fiksi. la menampilkan seri fotonya yang masih berlangsung tentang penjajaran eksentrik antara manusia dan alien.
Lee Sanghyun memamerkan animasi ceria tentang lansekap keindahan Gunung Inwang di Selatan Seoul melalui kacamata seorang sarjana Hanyang pada jaman Dinasti Joseon.
Pameran yang diselenggarakan di Edwin’s Gallery ini berlangsung tanggal 7 sampai 17 September akan menampilkan spektrum seni rupa dari kedua negara yang menggabungkan ide-ide baru dan pendekatan termutakhir. Pameran ini juga mendukung kita untuk merefleksikan hubungan antara diri kit