Sejak pasien positif pertama COVID-19 diumumkan awal Maret lalu, pandemi COVID-19 telah berlangsung selama tiga bulan di Indonesia. Kebijakan PSBB maupun jaga jarak fisik yang diberlakukan pemerintah membuat banyak orang mencari bentuk hiburan di rumah. Membuat kopi dalgona, mencoba berbagai resep masakan, menonton video Tik-Tok, mengikuti Webinar, hingga mengakses kuliah daring telah menjadi memori pandemi yang tak akan terlupa seumur hidup. Meskipun tersedia banyak tontonan menarik, banyak pihak akan setuju bahwa primadona konten di pertengahan awal 2020 adalah drakor atau drama Korea.
PSBB dan kebijakan bekerja dan belajar dari rumah membuat penggemar drakor tak hanya rutin menunggu episode drama yang sedang tayang, tetapi juga menonton judul-judul drama lama. Waktu yang sebelumnya dihabiskan untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor menjelma jadi waktu luang yang bebas dimanfaatkan. Banyaknya waktu di rumah pun menambah jumlah penonton drakor yang mulanya tak pernah menikmati produk budaya Korea yang satu ini.
Menonton drakor memang mengasyikkan. Selain alur ceritanya menarik, aktor serta aktris yang tampil pun tak jarang para rupawan. Meskipun begitu kita bisa menggunakan waktu menonton lebih berguna dengan sekaligus meningkatkan keahlian “menonton” dan mengapresiasi karya sinema.
Di bangku sekolah, mungkin kita mengasosiasikan bentuk “teks” sebagai tulisan. Kita familiar dengan bentuk “teks” novel, artikel berita, maupun cerpen di Internet. Ternyata, drama pun termasuk “teks.” Menurut Tony Purvis, profesor kajian budaya dan media Universitas Newscastle, teks adalah susunan tanda yang juga sistem penciptaan makna. Dengan definisi ini, film, lukisan, sitkom, iklan, musik, dan foto masuk dalam kategori “teks.”
“Teks” dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seringkali kita sekadar melihatnya, tidak “membaca”-nya. Bisa jadi hal ini terjadi karena “membaca” “teks” lebih sulit dari yang kita bayangkan. Butuh referensi maupun pendapat pakar untuk membantu kita “membaca.”
Untuk “membaca” drakor, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (PPKB FIB UI) merilis seri video “Drakorlogi” di Youtube yang membahas isu dan fenomena dalam drakor. Narasumber “Drakorlogi,” dosen kesusastraan dan drama Korea, Ibu Eva Latifah, Ph.D., memaparkan bahasan terkait tema yang dibahas dalam drama Korea. Dari perilaku manusia di masa pandemi, kesenjangan ekonomi dan sosial, pernikahan dan perceraian di Korea, hingga hubungan Korea Utara dan Korea Selatan dibahas di “Drakorlogi”.
Di episode “Drakorlogi” tentang epidemi, Ibu Eva menjelaskan tentang produksi drama yang melakukan riset medis agar memuat informasi yang akurat dan cukup realistis. Karena riset tersebut, drama “My Secret, Terrius” yang dirilis tahun 2018 dan film “The Flu” yang tayang pada tahun 2013 dipuji karena mendekati realita pandemi COVID-19.
Dalam “Drakorlogi,” Ibu Eva juga memberikan pesan bagi penonton drama dan film Korea agar bisa cerdas “membaca” karya. “Sebaiknya penonton tak hanya melihat drama-nya saja, tetapi juga mencari informasi tentang budaya Korea. Sehingga penonton bisa mencerna karya lebih baik, tidak sekadar menelan mentah-mentah apa yang ada di drama. Pilih juga tontonan yang sesuai dengan usia,” ujar Ibu Eva dalam salah satu episode “Drakorlogi” yang membahas drakor “The World of The Married.”
Akhir kata, menonton drakor sangat menghibur. Namun kita bisa mengasah kemampuan apresiasi dengan “membaca” karya lebih dalam. Tak hanya “membaca” akan menambah wawasan, tetapi juga memberikan amanat cerita untuk kita semua.
All-in-one Info Korea 👍
IG : @belajarkorea, @saungkorea
Facebook : Saung Korea
Twitter : @saungkorea
YouTube : Saung Korea
LINE : @saungkorea