Monumen Reunifikasi Dua Korea, yang secara resmi dikenal sebagai Monumen Tiga Titik Piagam Reunifikasi Nasional, merupakan sebuah patung dan pelengkung (arch) yang berlokasi di selatan Pyongyang, Korea Utara.
Monumen ini diselesaikan pada Agustus 2001 sebagai bentuk peringatan terhadap usulan reunifikasi Korea yang diajukan oleh Kim Il Sung. Pembangunan monumen ini tidak hanya merefleksikan keinginan untuk penyatuan kembali Semenanjung Korea yang telah lama terpisah, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi rakyat Korea baik di Utara maupun Selatan.
Sejarah Monumen Reunifikasi Dua Korea
Monumen Reunifikasi Dua Korea dibangun sebagai simbol persatuan antara Korea Utara dan Selatan yang bersama-sama menyangga sebuah bola yang menampilkan peta Korea yang disatukan. Bola tersebut merupakan lambang dari Tiga Piagam: Tiga Prinsip Reunifikasi Nasional, Rencana Pembentukan Republik Federal Demokratik Korea, dan Program Sepuluh Poin untuk Reunifikasi Negara. Bagian bawah lengkungan ini dihiasi dengan relief perunggu yang menggambarkan adegan gerakan kemerdekaan di kedua sisinya. Landasan struktur tersebut diukir dengan pesan dukungan untuk reunifikasi dan perdamaian dari berbagai individu, organisasi, dan negara.
Pembangunan monumen ini dimulai pada 14 Agustus 1999, dengan target penyelesaian awal pada 15 Agustus 2000, bertepatan dengan peringatan ke-55 kemerdekaan Korea dari Jepang. Rencana awalnya adalah membuat sebuah pilar setinggi 55 meter dengan tiga cabang yang mewakili orang Korea di utara, selatan, dan luar negeri.
Desain Monumen Reunifikasi
Desain Monumen Reunifikasi Dua Korea menggambarkan dua wanita Korea yang mengenakan pakaian tradisional 조선 옷(chosŏn-ot), masing-masing melambangkan Korea Utara dan Selatan, yang condong ke depan untuk bersama-sama menopang sebuah bola.
Monumen ini diselesaikan pada puncak kebijakan Sunshine, suatu upaya pemerintah Korea Selatan untuk mengurangi risiko konflik antara dua negara dan rekonsiliasi dengan Korea Utara. Lengkungan Reunifikasi memiliki lebar 61,5 meter, ini merupakan referensi terhadap Deklarasi Bersama Utara-Selatan pada 15 Juni 2000, dan tingginya, 30 meter, merujuk pada Tiga Prinsip Reunifikasi Nasional.
Desain ini tidak hanya menggambarkan harapan untuk penyatuan kembali Semenanjung Korea, tetapi juga menjadi simbol dari upaya dan aspirasi untuk perdamaian serta persatuan yang berkelanjutan antara Korea Utara dan Selatan.
Hancurnya Monumen Reunifikasi
Pada Desember 2023, dalam sambutannya di Pleno Komite Pusat WPK, Kim Jong Un menuduh Korea Selatan telah menjadi “basis militer dan gudang senjata nuklir” Amerika Serikat di tengah meningkatnya latihan militer bersama dan penempatan beberapa aset militer AS di dekat Semenanjung Korea.
Pada saat itu, Kim mengumumkan bahwa ia telah menutup kemungkinan reunifikasi dengan Korea Selatan melalui cara damai dan bahwa Korea Utara harus mengubah hubungannya dengan Korea Selatan secara fundamental. Korea Utara pada akhirnya berjanji akan meluncurkan tiga satelit mata-mata baru, membangun drone militer, dan meningkatkan arsenal nuklirnya pada tahun 2024.
Lalu pada Januari 2024, Kim memerintahkan penghancuran Monumen Reunifikasi. Dalam pidato di Majelis Rakyat Tertinggi pada 15 Januari tahun ini, Kim menyebut monumen tersebut sebagai “pemandangan yang mengganggu” dan, menurut media resmi, memerintahkan agar konstitusi diubah menyatakan bahwa Selatan adalah “musuh utama dan musuh prinsipil yang tidak berubah”.
Monumen tersebut diperkirakan telah dihancurkan antara tanggal 19 dan 23 Januari 2024, berdasarkan citra satelit. Kabar tentang penghancuran Monumen Reunifikasi telah dikonfirmasi oleh Kementerian Unifikasi Korea Selatan pada 24 Januari 2024.
Respons Pemerintah Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan bereaksi terhadap penghancuran Monumen Reunifikasi dengan kekhawatiran dan sebagai tanda meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea. Monumen tersebut, yang melambangkan harapan untuk rekonsiliasi antara Utara dan Selatan, dihancurkan oleh Korea Utara atas perintah pemimpinnya, Kim Jong Un. Pemerintah Korea Selatan, di bawah Presiden Yoon Suk Yeol, telah mengambil sikap tegas terhadap aksi militer Korea Utara yang telah meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut. Penghancuran dari Monumen Reunifikasi telah dianggap sebagai perubahan sikap Korea Utara terhadap Korea Selatan.
Respon pemerintah Korea Selatan terhadap penghancuran tersebut mencerminkan kekhawatiran tentang dinamika yang berubah antara dua Korea dan potensi implikasi pada stabilitas regional. Penghancuran monumen ini juga telah meningkatkan kekhawatiran bahwa Korea Utara mungkin mengadopsi pendekatan yang lebih provokatif dalam hubungannya dengan Korea Selatan dan sekutunya.
Sejak pembangunannya hingga penghancurannya, Monumen Reunifikasi telah melambangkan kompleksitas hubungan antara Korea Utara dan Selatan serta dinamika geopolitik yang lebih luas di Semenanjung Korea. Keputusan Kim Jong Un untuk menghancurkan monumen ini pada Januari 2024 menjadi simbol dari pergeseran dramatis dalam sikap Korea Utara terhadap Korea Selatan, menandai peningkatan ketegangan dan pengabaian tujuan reunifikasi secara damai. Penghancuran Monumen Reunifikasi tidak hanya merupakan tindakan fisik menghapus sebuah simbol perdamaian, tetapi juga mencerminkan kebijakan yang semakin agresif dari Korea Utara terhadap tetangga dan sekutu-sekutunya.
Respons pemerintah Korea Selatan terhadap penghancuran ini menunjukkan kekhawatiran mendalam mengenai potensi dampaknya terhadap stabilitas regional dan hubungan antar-Korea. Penghancuran Monumen Reunifikasi Dua Korea dan dinamika yang menyertainya mengingatkan dunia tentang tantangan yang masih ada dalam mewujudkan visi Semenanjung Korea yang damai dan bersatu.